November 30, 2009

Pindah Rumah: I've Moved ;)

Hi, there!
Sorry, but I've moved our togetherness to

http://rayyahidayat.info

Pliss, visit my home.

Thank you for visiting, anyway.

regard,
-rayyahidayat-
Read More..

April 23, 2009

Abnormalitas

Sabtu, di antara libur pemilu kemarin, budhe saya datang ke rumah abah. Ia meminta saya mengantarkan beliau ke tempat kerjanya di pinggiran kota. Bangunan di Jalan Kemuning itu adalah Sekolah Dasar yang dikelola oleh sebuah yayasan nonprofit. Laiknya SD pada umumnya, bangunan tersebut memiliki jumlah ruangan yang terdiri dari beberapa kelas, kantor guru, UKS, kantin, kamar kecil, dan area bermain, yang mengelilingi sebuah kolam kecil di tengahnya. Yang membedakan, adalah siswa-siswinya. Mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ya, bangunan itu adalah Sekolah Dasar Luar Biasa atau SDLB.

Budhe, adalah satu dari sekian banyak relawan pengajar. Sejak enam tahun yang lalu, SD swasta itu telah meluluskan puluhan muridnya. Hari itu, budhe mengajak saya masuk ke kelas enam. Saya disuruh duduk di bangku kosong pojok kanan (atas?). Siswa yang berjumlah sebelas hadir semua. Kebetulan, mata pelajaran saat itu adalah pengembangan diri. Mereka yang hadir diberi tugas untuk menulis tentang cita-cita yang ingin mereka raih.

Sewaktu meminta tanda tangan kepala sekolah di kantor, budhe membaiat saya untuk mengajar di depan. Fyuh…pengalaman pertama mengajar… Saya pikir, gampanglah mengajar anak-anak macam ini. Well, dugaan saya memang benar. Tinggal ngomong saja di depan kelas, plus bumbu-bumbu.sok tahu, semua pasti beres. Tapi itu hanya bertahan selama lima menit pertama. Karena salah seorang siswa yang tidak bisa melihat, tiba-tiba berkata, “Pak, ngga usah grogi gitu dong kalo ngomong. Saya kan ngga bisa lihat bapak.” Dezigg…ternyata saya ketahuan sedang terkena fever on stage a.k.a demam panggung.

Alih-alih biar tidak segera pingsan, saya meminta mereka untuk menyampaikan tugas yang mereka kerjakan secara lisan. Saya pun duduk, karena kaki saya gemetaran dan telapak tangan saya mulai berkeringat. (Duh…parah benget nih rayya!). Dan proses ‘alih-alih’ ini pun berjalan lancar. Kelas itu, yang terdiri dari sebelas anak ‘istimewa‘ itu, tiba-tiba berubah ramai. Begitu Avi –yang tadi mendapati saya grogi di depan kelas¬– menyampaikan cita-citanya menjadi pilot pesawat tempur, teman-teman sekelasnya berebut giliran ingin segera bicara. Ehm…sebagai seorang guru amatiran (sekali!) saya mendekati mereka satu-satu untuk menentukan urutan giliran.

Alhamdulillah, situasi bisa dikendalikan. Kebanyakan siswa memiliki cita-cita yang sama dengan kita waktu kecil. Seperti menjadi dokter, presiden, polisi, dan tentara. Tapi, ada empat di antara mereka yang begitu ‘cerdas’ dalam bercita-cita.

Fitra:
#laki-laki; 13 tahun; tuna netra;
"Besok kalau sudah gede, aku kepingin bisa melihat wajah ibu. Sejak masih minum susu, aku belum pernah lihat bagaimana rupa ibuku. Kata bapak, ibuku cantik. Tapi waktu aku pegang pipinya, kok kulit wajah ibu kasar. Kaya bika ambon yang biasa aku makan. Kalau aku bisa melihat nanti, jadi tahu siapa yang bohong. Aku, atau bapakku."

Zaki:
#laki-laki; 14 tahun; IQ <90
"Cita-citaku pingin kaya Mas Tarman. Mas Sutarman itu suka disuruh Pak Carik ngaji pas ada rapat di kecamatan. Kemarin aku ketemu mas Tarman. Dia bilang, ngaji itu bikin orang jadi pintar."

Uki:
#perempuan; 12 tahun; tuna grahita;
"Aku pingin ketemu Cici. Dia larinya cepat." (Kata Uki, Cici adalah nama panggilan atlet asal Indonesia yang menjuarai olimpiade anak cacat tingkat Asia. Tahun lalu, ia meraih medali emas untuk ketegori lari 100 meter. Untuk memahami cara Uki bicara memang susah. Tapi saya tahu penjelasannya dari tulisan yang ia buat di kertas)


Aulia:
#perempuan; 14 tahun; tuna rungu; tuna wicara;
"Aku mau jadi pengantin kaya abi. Waktu abi nikah sama Bibi Aisyah, aku dapat roti tart buanyaaaaak banget. Belum pernah aku makan roti yang di atasnya ada gambar orang sedang joget-joget (maksudnya lilin pengnatin yang sedang dansa). Manis banget. Banyak banget. Aku aja sampe belepotan makannya. Soalnya rebutan sama adek sih." (Budhe sudah kembali ke kelas. Beliau jadi penerjemah Uki untuk saya.)

Alif:
#laki-laki; 12 tahun
"Besok, saya cuma pingin sekolah di SMP umum yang teman-temannya baik. Mau jadi teman anak kecil yang jalannya pakai kursi roda kaya saya."


Entah apa alasan budhe mengajak saya ke sekolah yang berisi anak-anak istimewa itu. Hari itu, sabtu di antara libur pemilu, saya banyak belajar dari orang-orang yang sering termarjinalkan lantaran keterbatasan mereka dalam melakukan sesuatu. Lantas, bagaimana ya anak-anak seperti mereka berkomunikasi satu-sama lain?

Saya jadi sering bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa definisi dari normal itu? Kalau keterbatasan fisik dan kemampuan berfikir seseorang menyebabkan ia berstatus normal atau tidak normal, saya masuk kategori yang mana? Bukankah saya juga dalam banyak hal memiliki keterbatasan-keterbatasan itu?
Read More..

April 17, 2009

Kekuatan Itu Ada di Pagi Hari**

“Jika seorang hamba di pagi dan sore hari, tidak mempunyai keinginan apapun kecuali Allah SWT semata. Maka Allah akan memikul seluruh kebutuhannya. Allah akan memberikan semua yang menjadi keinginannya. Mengosongkan hatinya untuk cinta pada-Nya. Menjadikan lisannya berdzikir kepada-Nya. Menjadikan semua anggota tubuhnya memenuhi ketaatan pada-Nya” (Ibnul Qayyim)

Pagi yang menawan. Dingin, tapi menyejukkan. Semburat gradasi jingga membuat pola lukisan menakjubkan di ujung langit. Menggantikan warna kelam yang menyembunyikan keceriaan anak kecil. Dua partikel hidrogen merangkul satu partikel utama yang dihirup manusia. Bersenyawa, menjadi tetes embun yang melentikkan ujung-ujung daun bunga bakung.

Pagi itu begitu dingin. Nyaris menggumpalkan berliter-liter minyak kelapa yang disimpan nenek di dalam cendawan kaca. Tapi, tak sekalipun hawa dingin itu membekukan langkah orang-orang untuk merubah nasib. Anak belia yang bersegera berangkat ke sekolah. Lelaki-lelaki yang tak beralas kaki, berjalan menuju sawah dan ladang memenuhi panggilan jiwa. Para guru, dengan ilmu yang mereka miliki, siap memahat pikiran dan mengukir masa depan anak didiknya.




Yang paling indah adalah kaum hawanya. Mereka ini, adalah perempuan sejati: ibu-ibu rumah tangga. Sebelum semuanya bangun, sebelum semuanya tersadar, mereka sudah berada di dapur. Menyalakan tungku kayu yang ringkih. Menjerang air, menanak beras menjadi nasi. Dan semuanya itu, dijalankan sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dengan ikhlas. Tak ada imbalan apapun yang diharapkan.

Kata mereka, “Inilah bentuk perjuangan kami, Nak. Sebuah pengabdian kepada-Nya. Kami ini bukanlah wanita karir, atau perempuan-perempuan kota yang pandai bersolek. Gincu dan bedak, tidak akan membuat kami cantik. Parfum bermerk, juga tak akan membuat kami menjadi wangi. Tapi jelaga, Nak. Yang membuat kami merasa cantik. Tanpa jelaga di wajah dan tangan, kami bukanlah pengabdi setia. Bukan parfum wangi, tapi asap kayu bakar, yang menjadikan kami menjadi harum. Seolah-olah harum.”

Haha…celoteh ibu-ibu itu, menyimpulkan senyum di ujung bibirku. Lalu mereka melanjutkan, “Suami, anak, cucu, adalah ladang-ladang amal kami. Mereka adalah anugerah Allah Yang Maha Indah. Dan hanya Allah, Nak. Yang telah membuat kami cantik dengan berjelaga. Dan hanya Yang Maha Suci-lah, yang membuat kami harum dengan asap kayu bakar. Maka, tak sekalipun kami akan mendustakan-Nya. Tak sekalipun, kami ingkar kepada-Nya. Dan dengan demikian itulah, wujud syukur dan penghambaan kami kepada-Nya. Semua itu, berawal di pagi hari.”

***

Dan sekarang, aku berada di sebuah kota postmodern, megapolitan. Di mana setiap jengkal tanahnya adalah harta. Di mana setiap denyut jantungnya berarti nyawa. Di sinilah, —kata orang— peradaban maju ditemukan. Segala berita yang baru saja terjadi bisa kau temukan di sini.

Bagiku, pernyataan mereka tak selamanya benar. Tentang peradaban yang maju, aku anggukkan kepala. Juga tentang berita up to date, aku mengamininya. Tapi, semuanya itu seumpama pedang bersisi ganda. Jika tak mahir memainkannya, kita akan terluka. Dan sayangnya, aku termasuk yang tidak pandai mengayunkan pedang. Novice, amateur.

“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Betapa ucapan ibu-ibu itu –termasuk ibuku–, mengetuk dasar hatiku. Bagaimana tidak?

Kawan,
Pernahkan kita menghitung, berapa banyak kesempatan di waktu pagi yang kita lewatkan begitu saja. Aku sendiri, entahlah. Tak bisa aku hitung lagi. Ini tentang menyambut pagi. Tentang bangun pagi, untuk meraih kekuatan fisik dan batin. Kekuatan yang kita perlukan agar di waktu siang hinga malam, kita tetap ‘hidup’. Dan menyikapi shalat subuh, aku bersungguh-sungguh soal ini. Bukan maksud menggurui, aku juga bukan orang yang senantiasa bangun pagi. Bangun sebelum adzan subuh.

Seringkali,
Kelelahan di hari kemarin, benar-benar menidurkanku. Lelap, jatuh di bawah ketidaksadaran. Meski pendengaran sudah menangkap lantunan ajakan shalat, mata ini lebih lekat dengan buaian setan yang menyesatkan. Menyisakan kemalasan yang membutakan. Yang ada, aku melanjutkan tidurku. Hingga akhirnya terbangun dengan penyesalan yang dalam.

Kawan,
Hatiku kemudian berteriak, betapa aku telah menyia-nyiakan saat-saat terindah di awal hari. Subuh, adalah sebuah momentum. Tempat perlindungan manusia kepada Allah, dari bujuk rayu iblis dunia. Peristiwa, di mana sebuah pancaran kekuatan merubah nasib dimulai hari itu. Kemudian, sepanjang hari tak ada perasaan lagi selain menyesal. Bersalah karena telah melupakan hak-hak Allah atas makhluk-Nya. Dan memang benar, ketika pagi itu aku tidak bisa berjamaah subuh dengan orang-orang shalih, rasanya hati ini sempit. Tidak lapang. Jika senang, maka seolah-olah hanya semu. Bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Lagi-lagi, aku kecewa dengan diriku sendiri.

“Shalat terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan subuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat tersebut, tentunya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR Ahmad)

Aku teringat dengan tulisan Doktor Imad Ali Abdus Sami’ Husain dalam bukunya --Keajaiban Sholat Subuh--, “Sungguh, masjid-masjid di seluruh penjuru dunia ini merintih pedih dan mengeluh kepada Allah karena dijauhi oleh mayoritas kaum muslimin ketika shalat subuh dilaksanakan. Kalau bukan karena ketetntuan Allah bahwa benda-benda mati itu tidak bisa bicara, tentu manusia dapat mendengar suara rintihan dan gemuruh tangis masjid-masijd itu mengadu kepada Rabbnya Yang Agung.”

Kawan,
“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Bukan hanya tentang shalat subuh tepat waktu. Lebih jauh lagi. Dalam konteks lain, persiapan yang lebih awal mampu menyingkirkan kegagalan dan mendekatkan kita kepada puncak kejayaan. Semua pasti pernah mengenal pepatah “Gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan.” Mungkin itu juga yang menjadi alasan, mengapa Allah menjadikan pagi hari sebagai awal manusia dan makhluk-Nya untuk berkarya. Bukan siang, atau ketika hari sudah gelap.

Maka, tak ada alasan lain untuk menunda kewajiban. Manfaatkan momentum sekecil apapun di pagi hari, untuk mempersiapkan perbekalan. Karena semuanya ini, tidaklah abadi.

***

Masa kecilku, terukir di dalam cerita di awal tulisan ini. Sebuah kehidupan kecil di Lempuyang, sebuah desa terpencil di Temanggung. Mengenangnya, menghadirkan kedamaian tersendiri di tengah hingar bingar bising kepalsuan dunia. Namun di sisi lain, selalu muncul pertanyaan, “Mungkinkan aku bisa menjadi seperti mereka? Yang mampu meraih kekuatan di pagi hari. Sehingga bersemangat dalam berkarya. Tulus dan ikhlas mengabdi. Hanya untuk-Nya. Tuhanku Yang Maha Penyayang.”

Astaghfirullahal’adziim…

Kawan,
Simpulkanlah sendiri. Dari sebuah wasiat langsung pelaku bom syahid termuda di Palestina berikut ini. Namanya Muhammad Fathy Farahat. Umurnya baru beranjak 17 tahun. Wasiat ini, ditulis Farahat pada hari Jum’at, 1 Maret 2002, satu hari sebelum ia melakukan serangan yang mengantarkannya pada kematian yang ia dambakan: shalat subuh berjamaah.

“Saudaraku umat Islam, ketahuilah, sesungguhnya shalat subuh berjamaah adalah rahim yang melahirkan para pejuang dan pahlawan. Ia adalah tempat peraduan orang-orang ikhlash. Melaksanakan shalat subuh berjamaah, adalah ciri-ciri para mujahidin, indikasi kemenangan dan sifat-sifat orang shaleh. Sungguh amat banyak kebaikan yang tak ternilai di waktu itu.”

Everyday is a brand new day.
Where your dreams start.
When your hope calls to be fulfilled.


** maaf hanya repost. in memoriam of a very respected friend.
Read More..

April 15, 2009

Baru Dua Puluh Dua Hari

Libur pemilu kemarin lumayan lama. Beberapa teman saya memanfaatkan momen ini untuk mudik, termasuk rayya. Selain untuk menggunakan hak suara, kumpul dengan keluarga juga sudah lama tidak saya rasakan. Ya begitulah kaum mudikiawan dan mudikiawati. Mudik artinya tidak bisa main internet, karena ‘internet masuk kampung’ belum menyentuh tempat tinggal saya.

Kebetulan, teman mba’ saya punya hape yang bisa digunakan untuk browsing. Alih-alih minta pulsa, saya buka aplikasi Opera mini dan klik… halaman depan blog ini terbuka. Sesaat melihat postingan terakhir dan…. gubruk!!! *lebihparahdarigubrak* di bagian komentar ada pemberitahuan dari Mas Hafid Algristian bahwa blog ini mendapatkan award dari beliau.


























Kaget campur malu. Apanya yang bagus ya dari blog ini? Belum lagi –saat diberi award itu– usia blog ini baru dua puluh dua hari. Iya, masih seusia anak ayam yang baru menetas. Sepertinya masih banyak blog lain yang lebih bagus dari sekedar tulisan-tulisan saya yang biasa ini. Namun bagaimanapun, amanah tetap harus dilaksanakan.

Berikut adalah peraturannya yang saya salin dari blog Mas Hafid:
  1. Letakkan logo ini ke dalam postingan Anda.
  2. Nominasikan/anugerahkan sedikitnya kepada 10 teman Blogger Anda.
  3. Jangan lupa memasukkan link teman Anda yang masuk dalam nominasi tersebut.
  4. Agar mereka mengetahui bahwa mereka sedang mendapatlan Awards ini, maka Anda sebaiknya memberitahunya dengan berkomentar di posting mereka!
  5. Bagilah cinta dan link di dalam postingan ini dan dari orang yang menganugerahi Awards tersebut.
Maka sesuai peraturan award ini juga harus diteruskan. Dan saya memutuskan untuk meneruskan award ini kepada:
  1. Mas Itmam Aulia
  2. Mba Astri Maulikha
  3. Mas Nuno Orange
  4. Mba Khalifatun Nisa
  5. Pak Dhe Wicak
  6. Mas Achoey
  7. Mba Fitri
  8. Mas Bayu Ardiansyah
  9. Mas Muhamaze
  10. Mas Rizal
  11. Mas Irfan Muhamad
Terima kasih banyak kepada Mas Hafid Algristian. Saya yakin bahwa pemberian award ini tidak hanya sebatas ‘estafet award’ saja. Tapi tentu ada itikad baik di baliknya. Betul tidak Mas?

Kepada nama-nama sahabat yang mendapat award ini, satu doa saya: semoga berkah.
Read More..

April 08, 2009

Mbah Suneri Jualan Lagi

Jalanan masih belum begitu ramai, ketika ia mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Lampu-lampu penerang masih bekerja menggantikan matahari yang belum menggeliat. Hanya beberapa bus malam yang sekejap melintas mengaburkan nyanyian jangkrik dan belalang. Sesekali, dedaunan Bougainville mengibaskan tetes embun jenuh dari ujung-ujungnya.

Ia adalah Mbah Suneri. Perempuan usia hampir delapanpuluhan itu sudah siap menyambut hari. Jam setengah empat pagi. Dengan pakaiannya yang berlapis-lapis, ia berjalan kaki menuju pasar. Melintasi kampung-kampung, yang sebagian besar warganya masih terlelap dalam kehangatan selimut dan tidurnya yang panjang atas pelampiasan kelelahan kemarin. Kecuali orang-orang yang sudah terjaga untuk menyendiri bersama Tuhannya.


Mbah Neri, begitu ia akrab disapa. Jarak antara tempat tinggalnya di Kaliwuluh dengan pasar Pucang sekitar dua kilometer. Ditemani tiga barang bawaannya: bakul, tampah, dan satu tas jinjing berwarna abu-abu. Ketika adzan shubuh memanggil, ia letakkan dua barang bawaannya itu di serambi. Hanya tas jinjing abu-abu yang tetap dibawanya, berisi mukena bersih dan selembar sajadah kecil.

Selepas subuh Pasar Pucang kian ramai. Seperti biasa, Mbah Neri menyusuri lapak demi lapak untuk membeli sayuran hijau, beberapa kilo daging, minyak goreng, bumbu-bumbu masak, serta sejumlah kebutuhan dapur. Begitu semua terbeli, ia masukkan belanjaan ke dalam bakul dan digendongnya. Berpindah ke sisi lain dari pasar Pucang adalah bagian jajanan pasar. Ia lalu membeli kue pukis, tekwan, klepon, nagasari, putu mayang, dan serabi gula kelapa, yang semuanya masih dalam keadaan hangat. Ini terjadi karena Mbah Neri selalu menjadi pembeli pertama dari tiap-tiap lapak yang baru saja buka. Kali ini tampah yang dijadikan tempat untuk menaruh jajanan pasar. Sesaat kemudian, tampah itu disungginya di atas kepala.

Pukul enam pagi, ia memulai menjajakan sejumlah belanjaan yang ia beli di pasar Pucang. Kali ini jalan raya sudah mulai padat sesak oleh kendaraan berbagai ukuran. Mulai dari roda dua hingga yang beroda dua belas, dari plat hitam sampai plat merah. Melintasi jalan kampung yang ia lewati saat berangkat tadi, tujuan pertamanya adalah sepetak tanah sempit di sebelah SMP. Tanpa berkoar-koar atau menggunakan sirine khusus, ibu-ibu langganannya sudah tentu hafal bahwa pada pukul enam –kadang-kadang lebih– Mbah Neri sudah ‘mangkal’ di situ.

Sekitar satu jam kemudian, ia berpindah ke tempat yang lain. Kali ini berjalan menyusuri komplek perumahan, yang tembok pembatas antarrumah lebih tinggi dari atapnya, dan pagar halaman depan yang rapat, nyaris menutup semua pandangan dari orang-orang yang lewat di depannya. Kata orang, ini adalah simbol dari berkurangnya rasa percaya terhadap tetangga dekat, atau paranoid atas kemungkinan dibobolnya rumah mereka yang berisi pajangan berlabel luar negeri.

Setengah delapan, Mbah Neri sampai di samping rumah Bu Darmi dari RW XI. Ia meletakkan bakul dan tampahnya di atas tanah. Menggelar belanja bawaannya barang beberapa saat sambil rehat sejenak. Pembeli –sebagaimana setiap harinya- juga berkumpul memilih apa-apa yang hendak mereka beli. Sangat kontras. Pemandangannya terlalu kontras. Di depan rumah Bu Darmi adalah minimarket swalayan superkomplit, yang baru saja buka. Tapi Mbah Neri tak pernah kehilangan pelanggan. Mereka bilang, mereka tak mendapat cerita-cerita jaman silam kalau belanja di minimarket penyedia kebutuhan instant di depan itu. Menurut mereka juga, ternyata Mbah Neri adalah perempuan yang memerontak dan melarikan diri ketika tentara Nippon memaksanya menjadi Jugun Ianfu.

Dari satu tempat ke lokasi lain, satu rumah ke komplek lain. Begitu perempuan lanjut itu menjalankan aktivitasnya. Setiap hari. Menjajakan sayuran dan jajanan pasar. Ia seperti supplier sayur dan kebutuhan dapur untuk skala perorangan. Dengan caranya yang unik, ia telah berhasil memikat warga-warga kampung untuk selalu menunggu kedatangannya.

Termasuk anak-anak TK Perwanida, dengan keluguan mereka sering berebut kue cucur di tampah yang disungginya. Kue cucur ini adalah 'the most wanted' bagi bocah-bocah kecil lucu. Maklum, Mbah Neri adalah sang maestro yang secara turun-temurun mewarisi kemahiran membuat kue bundar pipih berwarna coklat berpuluh-puluh tahun lalu. Di sini, anak-anak diajari jujur berhitung. Karena Mbah Neri tak bisa membedakan uang seribu dengan sepuluh ribu; lima ribu dengan seratus ribu.

Selain Mbah Suneri, tentu masih banyak pedagang sayur lain yang berkeliling dengan gerobak, sepeda onthel, atau bahkan mobil bak terbuka. Tapi ia tak ingin menyerah pada keadaan. Tetap berjualan meski hanya berjalan kaki. Menjalankan profesi yang telah lama ia tekuni, bukan sekedar untuk menyambung hidup. Atau sebatas eksis di dunia pertukangsayuran.

Si Mbah ini punya seorang anak laki-laki dan sudah berkeluarga. Hidup mereka bahagia dan lebih dari status berkecukupan. Orang-orang yang belum mengenalnya sering bertanya heran, mengapa ia tak ikut tinggal dan hidup bersama putra semata wayangya. Ia justru bersusah-susah keliling jualan sayuran yang untungnya belum tentu mencukupkan. Kata ibu saya yang juga pelanggan setia beliau, ia lebih memilih menjalankan semua itu daripada tinggal bersama anaknya yang telah menyembah berhala dan patung-patung rupa manusia.

Mbah Neri bukanlah orang yang gila gengsi. Jika memang gengsi, ia tentu akan menolak pemberian satu dua piring nasi dan lauk dari para penderma. Tak pernah ia sekalipun menolak pemberian orang-orang yang begitu menyayanginya; tetangga-tetangga dekat. Ia justru menjadi perpanjangan tangan-tangan kebaikan. Setiap kali ia diberi sesuatu, kedua tangannya menyambut halus, dengan diiringi ikrar plus senyum senang: “Matur nuwun ya… Makanan ini saya terima. Pasti anak-anak di panti itu juga senang”. Begitu selalu, apa yang diterimanya ia bagi-bagikan dengan penghuni panti asuhan di dekat rumahnya.

Demikianlah, saya begitu mengagumi Mbah Neri. Seorang perempuan renta yang selalu memberikan banyak pelajaran, tanpa menggunakan buku-buku. Pembelajar dan pengajar nilai-nilai kehidupan, tanpa menyandang status guru. Sejak tujuh bulan yang lalu, ia tak bisa jualan lagi, lantaran kakinya nyaris lumpuh terkena gejala stroke. Menurut dokter klinik, kemungkinan besar ia tak akan bisa berjalan jauh. Artinya, ia tentu tak bisa jualan sayur keliling lagi.

Hanya orang-orang yang ikhlas dan berjiwa besar yang sanggup melewati ujian berat. Maha Suci Allah dengan segala kemurahan-Nya. Kemarin, ibu saya sms, katanya Mbah Suneri bisa berjalan lagi. Ia bahkan sudah berjualan lagi, meski kali ini jarak tempuh yang dilaluinya tak sejauh dulu lagi. Namun bukan karena itu yang membuat saya dan ibu saya, juga orang-orang kampung begitu takzim kepada beliau. Bukan pula karena catatan-catatan kedermawaannya; teguhnya pendirian beliau; atau pula filosofinya tentang bagaimana menjalani hidup sebenarnya. Tetapi karena sejak lahir hingga sekarang, Mbah Suneri menjalani hari-harinya dengan sepasang mata dalam keadaan buta.
Read More..

March 29, 2009

Rooftop


“Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga. Kering!!” Itu pesan singkat yang aku baca begitu masuk kamar. Nama pengirimnya ada di bagian ujung bawah. Seorang kawan dari kota sebelah. Saat ini adalah musim hujan. Berkendara dengan roda dua setiap kali pulang dari kampus, hampir selalu kehujanan. Terlebih lagi ia tinggal di kaki gunung yang menjadi daerah bayangan hujan. Artinya, curah hujan di sana lebih tinggi daripada daerah lainnya. Jikalau di sini langit baru nampak mendung, maka di rumahnya sana langit sudah menumpahkan beban air yang menggantung karena sampai pada titik jenuhnya. One step ahead. Begitu ia merepresentasikan tempat tinggalnya

Maka pulang dalam keadaan kering –menurutnya– adalah sebuah prestasi yang keren. Sering ia menggambarkan bahwa perjalanannya ketika langit mendung, seolah-olah ia akan berangkat perang. Warna awan yang pekat hitamnya, melukiskan medan pertempuran yang luluh lantak karena peluru meriam yang berdentuman menghujam tanah. Tapi perumpamaan yang ini masih lumayan normal, daripada hayalan tinkgat tingginya yang lain. Untuk mengiaskan kondisi yang sama, ia sering merasa seperti masuk ke pusat pusaran badai tornado; angin topan; –atau apalah ia bilang— dalam film Twister. Ahh…berlebihan!. Kadang fantasinya jauh di luar batas. Penyakit gila #29!!!


Beruntung tempat tinggalku hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari kampus. Tidak perlu berakting menjadi prajurit perang atau bintang film seperti itu untuk lari dari hujan. Tapi memang benar, ketika aku lihat langit, keadaannya benar-benar gelap. Awan begitu pekat. Lebih mirip polutan asap yang keluar dari knalpot bis rongsok reyot. Sesekali suara gemuruh keras menjadi back sound atas kilat yang menari-nari. Melompat-lompat dari awan yang satu ke gumpalan serupa yang berdekatan. Muatan elektron positif dan negatif benar-benar menampilkan pertunjukan yang spektakuler. Layaknya pentas budaya; langit menjadi latar, awan adalah panggung, kilat sebagai pemain, geluduk merupakan irama, Ia adalah sutradara, dan manusia yang kecil berperan sebagai penonton pasif. Indah dan menakjubkan.

Tanpa menunggu aba-aba, di tengah pertunjukan itu, bumi hujan. Sangat deras. Sungguh, Allah menampakkan kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Lisan-lisan manusia angkuh, terbungkam oleh kerasnya suara air yang tumpah dari atap bumi. Menghentikan sesaat perjalanan pengendara yang kadang ugal-ugalan dan mau menang sendiri. Atau orang-orang pembabat hutan yang harus berlindung dari kemungkinan becana longsor atau banjir. Subhanallah…

Sudah melewati dua waktu shalat di petang hari. Langit tidak lagi menangis. Pertunjukan pentas budaya sudah selesai. Sang Sutradara telah mengumpulkan dan menyatukan frame-frame kejadian. Sisanya, adalah reaksi yang beragam dari para penontonnya: manusia. Ada yang mengumpat karena tubuh mereka basah kuyup, mobil mereka yang menjadi kotor, atau pengendara sepeda motor yang harus memutar haluan lebih jauh karena ruas-ruas jalan tergenang rob. Di ujung lain, ada juga yang bersyukur karena hujan adalah berkah. Tak menyebabkan becana ataupun musibah. Ujar mereka, “…yang menciptakan hujan adalah yang menciptakan kami pula. Hujan adalah berkah.”

Aku tak bisa tidur. Insomnia? Mungkin. Udara di dalam kamar terasa agak pengap. Kucoba keluar untuk menghirup oksigen yang lebih segar. Dan aku mendapatkannya. Kutatap langit, kali ini ia sangat indah. Tampilannya semakin cantik dengan ttik-titik benda angkasa bercahaya. Jumlahnya sangat banyak. Sebagian kecil ada yang membentuk gugusan tersendiri. Pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Maka kupanjat meja di bawah tritisan, hingga sampai di atap.

Suasananya sangat tenang. Hening. Jauh dari hingar-bingar suara yang kadang menyakitkan . Di atas genting yang tak lagi basah, kurebahkan tubuhku., terlentang menghadap bintang-bintang dingin. Mencoba bertanya pada diri, apa yang tidak bisa membuatku tidur. Pita rekaman kejadian dari pagi hingga detik ini seperti terurai. Memori kemudian menunjuk pada bagian awal rol pita itu. Mirip jarum optik yang membaca compact disc secara sekuensial…

Pagi tadi aku bangun terlalu siang. Terjaga ketika hari sudah tak lagi gelap. Matahari menertawakanku, karena ia berhasil lebih dulu memangunkan manusia dan penghuni dunia. Aku malu. Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya Berteduhlah di Taman Hati menulis, “Mulailah berburu pahala sejak pagi hari. Bacalah Al-Qur’an dan berdzikirlah. Bacalah doa dan bersyukurlah. Karena di pagi hari adalah saat bertolak burung-burung dari sarangnya. Dan jangan lupa, sabda Rasulullah SAW, ‘Keberkahan Allah untuk umatku ada pada pagi harinya’”.

Karena tidak ingin terlambat sampai di kampus, kupinjam sepeda milik adikku yang tidak dipakai. Diam-diam, tanpa meminta ijin dulu. Begitu sore hari aku akan pulang, pedal sisi kanan pecah, meski tak terlalu parah. Dengan alasan takut dimarahi, sampai saat ini aku belum mengaku dan meminta maaf tentang kondisi sepedanya. Kelihatan sekali, bahwa Rayya bukan pemberani.

 Ujian BK yang masih menyisakan beberapa bab, memaksaku untuk secepat mungkin menyelesaikannya. Bagiku, soal-soal ujian kali ini lumayan sulit. Pertanyaan yang ditulis dalam language, plus pertanyaan jebakan, memaksa otak berpikir keras dan fokus. Buruknya, aku jadi acuh dengan seruan Allah. Tak kuhiraukan panggilan adzan Dzuhur dan Ashar tepat waktu. Toh agak telat sedikit juga masih cukup waktunya. Begitu pikirku. Setan begitu kuat menggenggam niat. Membenamkan tekad untuk berdialog langsung dengan-Nya tepat waktu. Untuk bercerita, mengeluh, dan mengaduh hanya kepada Dzat Yang Maha Mencintai.

Rekaman peristiwa demi peristiwa terus berjalan berurutan di kepalaku. A full playback. Hingga sore itu, aku seperti bisa merasakan kesedihan saudaraku yang tidak bisa pulang. Mungkin beginilah kehendak Allah, manusia itu berbatas. Allah Maha Berkehendak, dan manusia tak punya kuasa atas segala apapun.

Astaghfirullahal’adzim…

Bintang di langit jauh masih berkedip-kedip. Satu menyapa yang lain, saling menggoda, memamerkan kecantikan malam. Sementara di antara mereka, ada Sang Ratu Malam bak bola emas di langit hitam. Jam dinding merk Junghans terus berdenting. Suaranya sayup-sayup terdengar di atas atap. Waktu, memang tak pernah berhenti. Sesaat, aku merasakan energi pancaran Ilahi yang menenangkan hati, menenteramkan batin. Dengan skala apapun, kekuatan Allah tak akan pernah terbilang.

Ya Allah, Maafkanlah atas kelalaianku. Hari ini, kau bisa saja menghukumku atas segala kesalahan. Tuhanku, Kau bisa saja, tidak membangunkan aku dari tidur pagi ini. Hingga tak pernah bisa kutatap matahari lagi.

Pun begitu, Ya Allah. Ampunkaknlah hamba yang pandai berbohong. Boleh saja –dengan ketidakjujuranku–, Engkau berbuat hingga aku tak dapat mengayuh sepeda lagi. Juga dengan keluhan karena hujan yang membuatku tak bisa pergi ke luar rumah. Allah pun boleh menjadikan hujan itu tak henti-henti menerjang bumi. Menjadikannya air bah yang menghanyutkan.

Atau, telingaku bisa saja setiap saat Engkau jadikan tuli. Tak mampu menangkap frekuensi normal suara yang bisa didengar manusia. Karena tak kuhiraukan panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat atas perintah-Mu. Tidak seperti Rasulullah dan sahabatnya, yang ketika lelah, ia meminta Bilal untuk mengistirahatkan mereka dengan Shalat.

Atau, segalanya bisa terjadi atas kehendak-Mu. Apa-apa yang tidak kami inginkan, Engkau timpakan secara tiba-tiba. Boleh jadi, tapi Engaku tidak melakukannya. Subhanallah, tak pernah Engkau menguji kami melebihi atas kemampuan yang kami miliki. Seburuk apapun perangai kami, tak pernah Engkau celakakan kami. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni kesalahan-kesalahan kami. Tak Kau tumpahkan kemarahan-Mu kepada kami di dunia ataupun akhirat.

 Allah Engkau Dekat
Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau Biarkan
Hamba-Mu Menangis
Karena Kemurahan-Mu
Karena Kasih Sayang-Mu
                     (Opick, Cahaya Hati)

Pelan-pelan, pelupuk mataku menutup. Rindu mendekap rindu, senyum berpeluk-peluk. Energi yang kurasakan semakin hangat. Seolah-olah menyusup melalui celah pori kulit pembungkus tulang; seolah-olah Allah menyelimutiku dengan kasih sayang-Nya yang tak berbilang.

Kini, di atas atap ini, aku kembali menemukan waktu pada ruas-ruasnya. Gravitasi seperti tak berlaku. Ia berada pada titik nol. Kurengkuh pelukan-Nya erat-erat. Tak ingin kulepaskan. Inginku berlari sekencang-kencang untuk menggapai uluran tangan-Nya. Ya Allah hanya Engkaulah tempat kami bergantung… Jangan sekalipun Engkau berpaling dari kami meski kami terkadang berpaling dari-Mu. Astaghfirullahal’adzim.

Perlahan, dari sudut kedua mataku setitik demi setitik air menetes hangat...
Read More..

Tukeran Link

Selain sebagai media untuk menulis, blog juga bisa digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi melalui blog ini terbilang unik. Meski tidak selalu kenal dengan sesama blogger, namun seolah-olah memiliki kedekatan personal yang tak berjarak lagi *halah*. Cara blogger berkomentar terhadap suatu posting, lebih menarik daripada sekedar berkirim pesan singkat melalui handphone. Pokmen, Tukeran link lebih seru daripada tukeran nomor hape. Tapi itu semua menurut saya. Betul tidak ya? Hehe... *senyum tampan*

Untuk teman-teman yang berkomentar di postingan saya, semoga tidak keberatan tukeran link ya. Link teman-teman saya tempel di sini.

Belajar memperbaiki diri,
memberi yang terbaik meski tak pernah sempurna.
Read More..

A Man Named Rayya

Assalamu’alaikum.

Sesaat saya bingung, bagaimana cara yang tepat untuk bisa memperkenalkan diri. Alih-alih biar tidak bingung terus, sambil berpikir, sambil bertindak juga.

Salam hangat,
saya Rayya Hidayat, senang namanya ditulis rayyahidayat, dan dipanggil Rayya (dobel ‘y’ ya). Asli Temanggung dan dibesarkan di Banjarnegara. Di kota gilar-gilar ini pula memulai pendidikan formal di TK RA Perwanida II, bersambung ke SD Negeri 2 Gemuruh dengan teman sekelas paling banyak 10 anak. Melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Banjarnegara dan SMA Negeri 1 Banjarnegara, dan teman yang ada sudah jauh lebih banyak. Vakum dua tahun untuk mempersiapkan perbekalan, alhamdulillah tahun 2005 bisa kuliah di Semarang. Sekarang sedang mengerjakan tugas akhir, nyambi jadi pelayan mahasiswa di tata usaha fakultas.

Saya senang membaca buku-buku self help dan menonton film. Akhir-akhir ini rajin tanya sana-sini agar bisa bikin blog. Mulai dari mendaftar, konfigurasi, ubah-ubah template (ini paling susah), sampai bagaimana caranya menerbitkan postingan –yang ternyata dapat dilakukan dengan hanya menekan tombol ‘terbitkan entri’. Hehe…

rayyahidayat [dot] blogspot [dot] com lahir dengan akta kelahiran tertanggal 19 Maret 2009, pukul 08.11 waktu Indonesiarayya. Alasannya: ingin belajar tentang banyak ilmu yang bertebaran di jagadrayya. Melalui blog, saya bisa menemukan banyak inspirasi dan saling berbagi mimpi untuk diwujudkan.

Kepada para pengunjung, saya ucapkan selamat datang. Dalam blog ini, konten yang disampaikan hanyalah postingan kecil yang biasa dan tidak ada tema khusus. Seperti postingan pertama yang saya tulis karena sering bertanya pada rayya, tapi tak ada jawabannya. Saya hanya menukil dari yang tergeletak, menguntai dari yang tercerai. Semoga, rayya yang belum tahu apa-apa, kelak memiliki identitas (meminjam judul buku Dave Pelzer): A Man Named Rayya.

Belajar memperbaiki diri,
memberi yang terbaik meski tak pernah sempurna.

Wassalamu’alaikum.
Read More..

March 23, 2009

Catatan: Untuk Rayya

“Segala sesuatu itu mempunyai penyerbukan. Kesedihan itu serbuk yang melahirkan amal shaleh. Tidak ada seseorang yang bersabar atas amal shaleh, kecuali dengan kesedihan” (Malik bin Dinar)

Penat yang hinggap selama beberapa minggu terakhir itu, agaknya sudah sedikit berkurang. Setelah sekian lama, akhirnya pulang juga. Aroma udara kampung halaman, terasa begitu tenang.

Dan hari Senin ini, waktunya kembali berjibaku dengan peluang dan kegagalan merubah nasib. Dalam perjalanan ke Semarang, aku teringat akan cerita kesedihan seorang kawan dekat. Sahabat yang sudah lama aku kenal. Dari tulisan yang ia sampaikan, nampak sekali hari-harinya tidak berwarna, selain gradasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Dan semua itu, ia rangkai dalam sebuah cerita hati dalam sebuah email yang pernah ia kirimkan padaku.


“Rayya, Dari waktu yang telah aku lalui, ada satu episode dalam hidupku yang gelap. Sungguh menyedihkan. Ketika sebuah ujian berat, gagal aku hadapi. Gagal terlampaui. Sebuah ujian yang nyata-nyata telah menghempas aku ke dasar pusaran penyesalan, kekecewaan, dan kesedihan.

Lebih parah lagi, kesedihan itu menyisakan dua ketakutan yang sangat besar. Pertama, aku begitu takut menatap masa lalu. Masa di mana mozaik kehidupan yang indah terangkai. Saat-saat di mana setiap jengkal langkahnya adalah kesenangan. Saat-saat, ke mana pandangan terhampar yang terlihat hanya kecantikan. Berwarna-warni. Masa-masa ketika segala yang diperbuat adalah prestasi gemilang. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sudah lewat dan tidak mungkin bisa terulang lagi.

Lalu, yang kedua adalah ketakutan menatap masa depan. Terperosok hingga ke dasar kegelapan memang menyeramkan. Miris dan menakutkan. Perlu usaha keras untuk bisa berdiri tegak. Jangankan melangkah, untuk bertahan saja begitu berat. Terkadang –bahkan sering– hanya ada air mata dan rintihan hati memohon Ia berbelas kasihan memberi kekuatan-Nya padaku. Menyulut kembali api semangat yang telah padam. Untuk mengejar cita-cita yang telah terurai. Bercita-cita? Bermimpi saja tidak berani. Payah. Parah!

Rasa takut, menyebabkan jiwa terlalu berhati-hati dalam menilai dan bertindak. Dalam arti tidak berani membuat perubahan, mengukir prestasi puncak. Memilih menjadi safety player yang tidak berani mengambil resiko. Juga menyia-nyiakan kesempatan. Afraid of taking chances.

Kawan,
Aku yang dulu seorang pengejar impian, tiba-tiba menjadi orang yang sangat lemah. Tak bisa lagi bangkit dari sebuah kegagalan. Tiap kali berusaha bangkit, ada satu sisi dalam diriku yang mengatakan ‘you will fail’. Tapi dari mana suara itu berasal, aku tak tahu. Entahlah.

Lalu seorang kawan yang lain mencoba menyadarkan diriku. Katanya, “Mungkin kau kurang istiqamah. Kurang bersyukur dengan apa yang kamu jalani. Tengoklah saudara-saudara kita yang lain. Untuk bisa bangkit, kita memang perlu mendongak ke atas. Tapi jangan terlalu lama karena mata akan silau, dan leher akan lelah. Lebih seringlah engkau menunduk. Lihatlah ke bawah. Dan kau akan melihat, betapa banyak saudaramu yang lebih kurang beruntung daripada engkau”.

Sadarlah kawan!
Keep on fighting. You were a survivor. And that is what you’ll gonna be. Kau boleh saja bersedih atas apa yang menimpamu beberapa tahun yang lalu itu. Mengingat kau termasuk orang yang beruntung. Kau tak pernah menorehkan nilai merah di rapormu. Engkau jugalah yang beberapa kali mengantarkan teman-temanmu bisa mempertahankan piala bergilir hingga akhirnya menjadi piala tetap.

Sejenak, Kawan…
Diamlah sejenak. Di sini. Di tempat ini. Berdzikirlah. Memohon segala ampunan-Nya. Agar Ia mengangkat derajatmu kembali. Ingatlah kawan. Betapa banyak kemudahan yang Allah berikan kepadamu dalam menghadapi berbagai tantangan yang engkau lewati. Adakah di sana, kegagalan lebih banyak dari keberhasilan? Adakah di sana, kesedihan lebih banyak dari kesenangan? Adakah di sana, kawan, rasa marah lebih banyak dari rasa cinta karena-Nya. Tidak! Sungguh tidak, Karena Allah menyayangimu.

Niatkan segala yang engkau lakukan dengan ibadah. Boleh saja, engkau sangat kecewa, ketika kau tidak lolos dalam seleksi student exchange dengan pemerintah negara bagian Queensland, Australia.Gara-gara salinan rapormu lupa disiapkan oleh pihak sekolah. Atau, ketika kamu tidak bisa masuk universitas favorit seperti teman-temanmu yang lain. Sungguh, Kawan. Semua yang terjadi kepadamu ini bukanlah sebuah kebetulan. Semua rangkaian kejadian dan peristiwa di dunia ini, sudah Allah atur.

Lihatlah sisi baik dari setiap musibah. Pandanglah sebuah kegagalan dari perspektif yang lain. Temukan hikmah di balik semua kesedihan. Simaklah perkataan Malik bin Dinar, ‘Segala sesuatu itu mempunyai penyerbukan. Kesedihan itu serbuk yang melahirkan amal shaleh. Tidak ada seseorang yang bersabar atas amal shaleh, kecuali dengan kesedihan.

Seorang sahabat Rasul biasa melakukan istighfar seribu kali, ketika hatinya terasa sempit. Hingga akhirnya lapang. Rasulullah SAW sendiri selalu membaca istighfar, paling tidak seratus kali setiap hari. Bagaimana dengan aku, engkau; kita?

Bangkit dari kegagalan memang sangat berat. Tetaplah berusaha. Bersemangatlah. Karena dengan itu, kau akan mampu melampaui penghalang di jalan yang engkau temui. Tapi, kesinambungan juga tak kalah penting. Bagaimanapun juga, Allah menyukai tindakan hamba-Nya yang kecil namun sering, daripada tindakan besar namun hanya sekali dilaksanakan.

Bersyukurlah, Kawan…
Kau kini bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanmu. Menurutku, kau sudah berhasil bangkit dari kegelapan. Nilaimu semester ini sempurna, jayyid jidan, IP-mu 4,00. Apa itu masih kurang? Jika iya, lantas ke mana rasa syukurmu kepada Dzat Yang Maha Penyayang? Dia Yang Maha Suci dan Maha Indah. Dialah yang telah meyibakkan tirai kegelapan sumber-sumber ilmu hingga kau paham akan sesuatu.

Bangkitlah, Kawan!
Allah SWT berfirman. ‘Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.’ (QS. Al-Anfal: 29).”

 Ya Allah, izinkan aku mengucap syukur kepada-Mu. Atas apa yang engkau karuniakan kepada kami. Engkau juga yang telah mengenalkan aku dengan kawan-kawan seiman, yang selalu menyertaiku dalam berjuang.

***

Oh…cerita hati kawanku yang menyedihkan. Tapi percayalah kawan. Boleh jadi ujian itu untuk menyegerakan hukuman atas dosa-dosamu di dunia, hingga engkau tak lagi menanggung dosa di hari nanti. Bergembiralah kawan! Dengan apa yang engkau hadapi setiap hari. Bersyukur. Sekecil apapun nikmat dan ujian yang kau dapati.

Karena hidup tak mengenal siaran tunda. Apapun masa lalu kita, tatap tegak masa depan! Kita pernah berjanji, untuk mengejar mimpi bersama. Dengan tetap melangkah di jalan ketaatan kepada-Nya.

Kau pernah berkata, “Jika Ikal dan Arai punya Edensor, Maka kau dan aku punya DREAMLAND!”. Kita pasti akan menemukannya. Entah di manapun itu. Bahkan, jika itu berarti surga. Karena kita akan bersahabat, hingga ke surga...
Read More..

March 21, 2009

Kekuatan itu Ada di Pagi Hari

“Jika seorang hamba di pagi dan sore hari, tidak mempunyai keinginan apapun kecuali Allah SWT semata. Maka Allah akan memikul seluruh kebutuhannya. Allah akan memberikan semua yang menjadi keinginannya. Mengosongkan hatinya untuk cinta pada-Nya. Menjadikan lisannya berdzikir kepada-Nya. Menjadikan semua anggota tubuhnya memenuhi ketaatan pada-Nya” (Ibnul Qayyim)

Pagi yang menawan. Dingin, tapi menyejukkan. Semburat gradasi warna jingga membuat pola lukisan menakjubkan di ujung langit. Menggantikan warna kelam yang menyembunyikan keceriaan anak kecil. Dua partikel hidrogen merangkul satu partikel utama yang dihirup manusia. Bersenyawa, menjadi tetes embun yang melentikkan ujung-ujung daun bunga Bougainville.

Pagi itu begitu dingin. Nyaris menggumpalkan berliter-liter minyak kelapa yang disimpan nenek di dalam cendawan kaca. Tapi, tak sekalipun hawa dingin itu membekukan langkah orang-orang untuk merubah nasib. Anak belia yang bersegera berangkat ke sekolah. Lelaki-lelaki yang tak beralas kaki, berjalan menuju sawah dan ladang memenuhi panggilan jiwa. Para guru, dengan ilmu yang mereka miliki, siap memahat pikiran dan mengukir masa depan anak didiknya.

Yang paling indah adalah kaum hawanya. Mereka ini, adalah perempuan sejati: ibu-ibu rumah tangga. Sebelum semuanya bangun, sebelum semuanya tersadar, mereka sudah berada di dapur. Menyalakan tungku kayu yang ringkih. Menjerang air, menanak beras menjadi nasi. Dan semuanya itu, dijalankan sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dengan ikhlas. Tak ada imbalan apapun yang diharapkan.

Kata mereka, “Inilah bentuk perjuangan kami, Nak. Sebuah pengabdian kepada-Nya. Kami ini bukanlah wanita karir, atau perempuan-perempuan kota yang pandai bersolek. Gincu dan bedak, tidak akan membuat kami cantik. Parfum bermerk, juga tak akan membuat kami menjadi wangi. Tapi jelaga, Nak. Yang membuat kami merasa cantik. Tanpa jelaga di wajah dan tangan, kami bukanlah pengabdi setia. Bukan parfum wangi, tapi asap kayu bakar, yang menjadikan kami menjadi harum. Seolah-olah harum.”

Haha…celoteh ibu-ibu itu, menyimpulkan senyum di ujung bibirku. Lalu mereka melanjutkan, “Suami, anak, cucu, adalah ladang-ladang amal kami. Mereka adalah anugerah Allah Yang Maha Indah. Dan hanya Allah, Nak. Yang telah membuat kami cantik dengan berjelaga. Dan hanya Yang Maha Suci-lah, yang membuat kami harum dengan asap kayu bakar. Maka, tak sekalipun kami akan mendustakan-Nya. Tak sekalipun, kami ingkar kepada-Nya. Dan dengan demikian itulah, wujud syukur dan penghambaan kami kepada-Nya. Semua itu, berawal di pagi hari.”
***

Dan sekarang, aku berada di sebuah kota postmodern, megapolitan. Di mana setiap jengkal tanahnya adalah harta. Di mana setiap denyut jantungnya berarti nyawa. Di sinilah, —kata orang— peradaban maju ditemukan. Segala berita yang baru saja terjadi bisa kau temukan di sini.

Bagiku, pernyataan mereka tak selamanya benar. Tentang peradaban yang maju, aku anggukkan kepala. Juga tentang berita up to date, aku mengamininya. Tapi, semuanya itu seumpama pedang bersisi ganda. Jika tak mahir memainkannya, kita akan terluka. Dan sayangnya, aku termasuk yang tidak pandai mengayunkan pedang. Novice, amateur.

“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Betapa ucapan ibu-ibu itu –termasuk ibuku–, mengetuk dasar hatiku. Bagaimana tidak?

Kawan,
Pernahkan kita menghitung, berapa banyak kesempatan di waktu pagi yang kita lewatkan begitu saja. Aku sendiri, entahlah. Tak bisa aku hitung lagi. Ini tentang menyambut pagi. Tentang bangun pagi, untuk meraih kekuatan fisik dan batin. Kekuatan yang kita perlukan agar di waktu siang hinga malam, kita tetap ‘hidup’. Dan menyikapi shalat subuh, aku bersungguh-sungguh soal ini. Bukan maksud menggurui, aku juga bukan orang yang senantiasa bangun pagi. Bangun sebelum adzan subuh.

Seringkali,
Kelelahan di hari kemarin, benar-benar menidurkanku. Lelap, jatuh di bawah ketidaksadaran. Meski pendengaran sudah menangkap lantunan ajakan shalat, mata ini lebih lekat dengan buaian setan yang menyesatkan. Menyisakan kemalasan yang membutakan. Yang ada, aku melanjutkan tidurku. Hingga akhirnya terbangun dengan penyesalan yang dalam.

Kawan,
Hatiku kemudian berteriak, betapa aku telah menyia-nyiakan saat-saat terindah di awal hari. Subuh, adalah sebuah momentum. Tempat perlindungan manusia kepada Allah, dari bujuk rayu iblis dunia. Peristiwa, di mana sebuah pancaran kekuatan merubah nasib dimulai hari itu. Kemudian, sepanjang hari tak ada perasaan lagi selain menyesal. Bersalah karena telah melupakan hak-hak Allah atas makhluk-Nya. Dan memang benar, ketika pagi itu aku tidak bisa berjamaah subuh dengan orang-orang shalih, rasanya hati ini sempit. Tidak lapang. Jika senang, maka seolah-olah hanya semu. Bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Lagi-lagi, aku kecewa dengan diriku sendiri.

“Shalat terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan subuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat tersebut, tentunya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR Ahmad)

Aku jadi teringat dengan tulisan Doktor Imad Ali Abdus Sami’ Husain dalam bukunya --Keajaiban Sholat Subuh--, “Sungguh, masjid-masjid di seluruh penjuru dunia ini merintih pedih dan mengeluh kepada Allah karena dijauhi oleh mayoritas kaum muslimin ketika shalat subuh dilaksanakan. Kalau bukan karena ketetntuan Allah bahwa benda-benda mati itu tidak bisa bicara, tentu manusia dapat mendengar suara rintihan dan gemuruh tangis masjid-masijd itu mengadu kepada Rabbnya Yang Agung.”

Kawan,
“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Bukan hanya tentang shalat subuh tepat waktu. Lebih jauh lagi. Dalam konteks lain, persiapan yang lebih awal mampu menyingkirkan kegagalan dan mendekatkan kita kepada puncak kejayaan. Semua pasti pernah mengenal pepatah “Gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan.” Mungkin itu juga yang menjadi alasan, mengapa Allah menjadikan pagi hari sebagai awal manusia dan makhluk-Nya untuk berkarya. Bukan siang, atau ketika hari sudah gelap.

Maka, tak ada alasan lain untuk menunda kewajiban. Manfaatkan momentum sekecil apapun di pagi hari, untuk mempersiapkan perbekalan. Karena semuanya ini, tidaklah abadi.

***

Masa kecilku, terukir di dalam cerita di awal tulisan ini. Sebuah kehidupan kecil di Lempuyang, sebuah desa terpencil di Temanggung. Mengenangnya, menghadirkan kedamaian tersendiri di tengah hingar bingar bising kepalsuan dunia. Namun di sisi lain, selalu muncul pertanyaan, “Mungkinkan aku bisa menjadi seperti mereka? Yang mampu meraih kekuatan di pagi hari. Sehingga bersemangat dalam berkarya. Tulus dan ikhlas mengabdi. Hanya untuk-Nya. Tuhanku Yang Maha Penyayang.”

Astaghfirullahal’adziim…

Kawan,
Simpulkanlah sendiri. Dari sebuah wasiat langsung pelaku bom syahid termuda di Palestina berikut ini. Namanya Muhammad Fathy Farahat. Umurnya baru beranjak 17 tahun. Wasiat ini, ditulis Farahat pada hari Jum’at, 1 Maret 2002, satu hari sebelum ia melakukan serangan yang mengantarkannya pada kematian yang ia dambakan: shalat subuh berjamaah.

“Saudaraku umat Islam, ketahuilah, sesungguhnya shalat subuh berjamaah adalah rahim yang melahirkan para pejuang dan pahlawan. Ia adalah tempat peraduan orang-orang ikhlash. Melaksanakan shalat subuh berjamaah, adalah ciri-ciri para mujahidin, indikasi kemenangan dan sifat-sifat orang shaleh. Sungguh amat banyak kebaikan yang tak ternilai di waktu itu.”

Everyday is a brand new day. Where your dreams start. When your hope calls to be fulfilled.
Read More..

March 19, 2009

Layakkah Aku Dicintai?

Gang itu tidak begitu sempit. Meski tidak muat untuk papasan, mobil pribadi bisa melewatinya. Orang berlalu-lalang semakin ramai. Siang beranjak menua, waktunya orang-orang pulang dari bekerja. Akhir pekan nampaknya tidak mampu mengurangi kepenatan manusia untuk sejenak melepas lelah. Wajah-wajah yang nampak mewakili bermacam emosi yang tak terucapkan. Emosi mereka hanya dapat dibaca melalui polah dan gerak tubuh yang dinamis, kadang kaku, tidak luwes.


Waktu sudah menemukan ruasnya. Pergantian siang dan malam, tak hanya sekedar melambangkan hilangnya siang berganti malam. Sore, bagi sebagian orang adalah pertanda beralihnya konsentrasi perhatian dari kehidupan dunia ke ukhrawi yang kekal. Pun begitu, malaikat malam mengawali tugasnya meneruskan shift malaikat subuh. Makhluk yang selalu taat kepada tuannya ini secara kontinu mencatat amal perbuatan manusia. Selama hari, selama usia.


Gang itu tak beda dengan gang-gang lain pada umumnya. Terdiri dari sederetan rumah nyaris tak bersela, kecuali pada perpotongan melintang sisinya dengan gang atau jalan lain. Dari sekian banyak rumah, ada satu kediaman yang agak berbeda dengan tetangganya. Meski secara fisik dan arsitektur, pengaruh tradisional masih lekat. Halaman rumah yang tak seberapa luas itu tak berpagar. Namun ada satu bagian yang unik dan berbeda. Pada bagian atas gapura yang terbuat dari rakitan bambu dan kayu, ada dua buah kendi bertuliskan “AIR MINUM GRATIS. SILAKAN AMBIL.” Kendi-kendi itu sengaja disediakan pemilik rumah untuk membasahi tenggorokan mereka yang kekeringan. Menurut cerita orang-orang di sekitar, kebiasaan ini sudah lama dilakukan.



Suatu ketika aku melintasi rumah itu. Dan sepasang kantung air dari tanah liat itu masih berada di tempatnya. Dalam hati aku berkata, “Ahh…biasa saja. Air minum ‘kan murah. Cara mendapatkannya mudah mula. Tinggal beli di warung, tidak perlu repot-repot semacam itu.”

“Kalau hanya ngasih air minum,” batinku melanjutkan monolognya, ”…aku pernah. Toh masih banyak cara lain untuk berbuat baik. setiap Jum’at misalnya, aku mengisi kotak infaq di masijd. Tiap libur tiba, santri-santri TPQ di dekat rumah tak lupa aku ajar. Atau pengemis-pengemis yang kutemui di dalam bus ketika mudik, hampir selalu kuberi.”

Begitulah. Kini aku merasa bahwa pemikiran semacam itu sungguh naif. Aku terlalu berpikir pendek untuk sebuah hal kecil yang aku sendiri belum yakin, apakah aku ikhlash atau tidak. Mungkin, ketika aku memberi segelas air mineral kemasan kepada seorang pengemis, pujian adalah alasannya. Jangan-jangan, gengsi dengan jama’ah di sebelahku adalah latar belakang mengapa aku mengisi infaq tiap Jum’at. Dan mengajar santri-santri TPQ dekat rumah, juga hanya karena aku ingin dipandang sebagai orang yang alim; laki-laki yang shaleh.

Ataghfirullahal’adzim. Berbeda dengan penyedia air minum dalam kendi-kendi itu. Dari kacamata manusia, amal perbuatannya hanya kecil. Lebih kecil dari besarnya donasi seseorang untuk membeli karpet polos untuk masjid. Lebih kecil dari infaq Jum’at seseorang. Tapi dari sudut pandang Allah, menyediakan air minum gratis bisa berarti besar. Para musafir misalnya, yang ketika bekalnya habis di perjalanan, mereka bisa mengisi ulang botol minumnnya yang kosong. Sehingga mereka bisa mencapai tujuan dengan selamat.

Air-air dalam kendi itu menjadi saksi estafet kebaikan pemilik rumah. Kesinambungan. Bukankah Allah lebih menyukai perbuatan kecil namun dilakukan secara terus-menerus, daripada tindakan besar namun hanya dilakukan hanya sekali dua kali. Sedangkan aku, masih sangat jauh dari kesinambungan itu. Belum bisa menjaga keberlangsungan sebuah amal kecil. Seperti garis putus-putus. Insidental.

Ya Allah, sesungguhnya aku ini sangat hina. Bergelimang dosa, namun masih tetap berbuat khilaf dan maksiat. Jika diizinkan, ingin kubenci saja diriku. Tapi aku tidak boleh melakukannya. Karena ternyata masih ada orang-orang yang begitu peduli ketika aku sendiri acuh terhadap diriku. Mereka bahkan rela melakukan apa saja demi aku yang rendah ini. Abah dan ibuku, tak akan pernah lupa untuk menyebutkan namaku dalam doa-doa dan sujud malam mereka yang panjang. Kakakku, hampir setiap malam membasahi mukanya dengan air mata untuk memohonkan ampunan Allah atasku, meski banyak kali kusakiti hatinya. Kawan-kawanku, yang mungkin aku lupakan budi baik mereka, masih saja bersedia meraih tanganku ketika aku terjatuh. Dan Allah Yang Maha Suci, begitu besar cinta-Nya kepadaku. Yang tiap kali kutinggalkan, Ia kuatkan langkahku. Yang tiap kali aku bohongi, Ia tunjukkan kejujuran padaku. Yang tiap kali aku lupakan, Ia ingatkan siapa aku.

Pantaskah aku menerima semua ini? Kadang aku merenung, apa jadinya jika Allah menyingkap semua keburukanku kepada mereka. Allah buka tabir aib yang tak bisa dilihat mereka, hingga tak ada lagi yang tersisa dariku selain noda hitam, pekat, bau, dan menjijikkan. Maukah mereka tetap berada di dekatku? Masih bersediakah mereka menemaniku? Dan jika jawabannya adalah “ya”, sekali lagi aku bertanya, pantaskah aku menerima semua ini?

Sungguh besar kuasa-Mu Rabb. Kau tutup semua keburukanku, hingga aku bisa bertahan di sini. Di antara orang-orang yang menyayangiku, meski sering aku sakiti. Kau bungkam semua aibku dalam kebisuan, hingga tak ada seorang pun yang bisa mendengarnya. Kau butakan mereka atas khilaf yang pernah aku lakukan. Laa haula
walaa quwwata illaa billaah…


Ya Allah, jika Engkau hanya menolong orang-orang yang selalu bangun tiap malam untuk berkhalwat dengan-Mu, lalu siapa yang akan menolong orang yang lalai dalam tidurnya seperti aku?

Ya Allah, jika Engkau hanya memberi petunjuk kepada orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk menyerukan agama-Mu, lalu siapa yang menolong orang yang banyak membuang waktunya sia-sia seperti aku?

Ya Allah, jika engkau hanya memberi kekuatan kepada mereka yang teguh menegakkan kebaikan, lalu siapa yang akan meberi kekuatan kepada yang lemah dan banyak berbuat bakhil sepeti aku?

Ya Allah, jika Engaku hanya mencintai mereka yang senantiasa menjauhi maksiat, lalu siapa yang akan mencintai orang-orang yang masih saja berbuat maksiat seperti aku?

* * *

Tik…tak…tik…tak… Kutatap penunjuk waktu yang menggantung di tembok. Sang waktu kembali menemukan ruas-ruasnya. Detik masih berlari, mengubah menit yang berjalan menjadi jam yang bergerak merangkak. Dan kini, aku masih di sini. Duduk sangat dekat dengan waktu. Satu pertanyaan masih beresonansi dalam hati: layakkah aku dicintai…?
Read More..

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP