Sabtu, di antara libur pemilu kemarin, budhe saya datang ke rumah abah. Ia meminta saya mengantarkan beliau ke tempat kerjanya di pinggiran kota. Bangunan di Jalan Kemuning itu adalah Sekolah Dasar yang dikelola oleh sebuah yayasan nonprofit. Laiknya SD pada umumnya, bangunan tersebut memiliki jumlah ruangan yang terdiri dari beberapa kelas, kantor guru, UKS, kantin, kamar kecil, dan area bermain, yang mengelilingi sebuah kolam kecil di tengahnya. Yang membedakan, adalah siswa-siswinya. Mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ya, bangunan itu adalah Sekolah Dasar Luar Biasa atau SDLB.
Budhe, adalah satu dari sekian banyak relawan pengajar. Sejak enam tahun yang lalu, SD swasta itu telah meluluskan puluhan muridnya. Hari itu, budhe mengajak saya masuk ke kelas enam. Saya disuruh duduk di bangku kosong pojok kanan (atas?). Siswa yang berjumlah sebelas hadir semua. Kebetulan, mata pelajaran saat itu adalah pengembangan diri. Mereka yang hadir diberi tugas untuk menulis tentang cita-cita yang ingin mereka raih.
Sewaktu meminta tanda tangan kepala sekolah di kantor, budhe membaiat saya untuk mengajar di depan. Fyuh…pengalaman pertama mengajar… Saya pikir, gampanglah mengajar anak-anak macam ini. Well, dugaan saya memang benar. Tinggal ngomong saja di depan kelas, plus bumbu-bumbu.sok tahu, semua pasti beres. Tapi itu hanya bertahan selama lima menit pertama. Karena salah seorang siswa yang tidak bisa melihat, tiba-tiba berkata, “Pak, ngga usah grogi gitu dong kalo ngomong. Saya kan ngga bisa lihat bapak.” Dezigg…ternyata saya ketahuan sedang terkena fever on stage a.k.a demam panggung.
Alih-alih biar tidak segera pingsan, saya meminta mereka untuk menyampaikan tugas yang mereka kerjakan secara lisan. Saya pun duduk, karena kaki saya gemetaran dan telapak tangan saya mulai berkeringat. (Duh…parah benget nih rayya!). Dan proses ‘alih-alih’ ini pun berjalan lancar. Kelas itu, yang terdiri dari sebelas anak ‘istimewa‘ itu, tiba-tiba berubah ramai. Begitu Avi –yang tadi mendapati saya grogi di depan kelas¬– menyampaikan cita-citanya menjadi pilot pesawat tempur, teman-teman sekelasnya berebut giliran ingin segera bicara. Ehm…sebagai seorang guru amatiran (sekali!) saya mendekati mereka satu-satu untuk menentukan urutan giliran.
Alhamdulillah, situasi bisa dikendalikan. Kebanyakan siswa memiliki cita-cita yang sama dengan kita waktu kecil. Seperti menjadi dokter, presiden, polisi, dan tentara. Tapi, ada empat di antara mereka yang begitu ‘cerdas’ dalam bercita-cita.
Entah apa alasan budhe mengajak saya ke sekolah yang berisi anak-anak istimewa itu. Hari itu, sabtu di antara libur pemilu, saya banyak belajar dari orang-orang yang sering termarjinalkan lantaran keterbatasan mereka dalam melakukan sesuatu. Lantas, bagaimana ya anak-anak seperti mereka berkomunikasi satu-sama lain?
Saya jadi sering bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa definisi dari normal itu? Kalau keterbatasan fisik dan kemampuan berfikir seseorang menyebabkan ia berstatus normal atau tidak normal, saya masuk kategori yang mana? Bukankah saya juga dalam banyak hal memiliki keterbatasan-keterbatasan itu?
Read More..
Budhe, adalah satu dari sekian banyak relawan pengajar. Sejak enam tahun yang lalu, SD swasta itu telah meluluskan puluhan muridnya. Hari itu, budhe mengajak saya masuk ke kelas enam. Saya disuruh duduk di bangku kosong pojok kanan (atas?). Siswa yang berjumlah sebelas hadir semua. Kebetulan, mata pelajaran saat itu adalah pengembangan diri. Mereka yang hadir diberi tugas untuk menulis tentang cita-cita yang ingin mereka raih.
Sewaktu meminta tanda tangan kepala sekolah di kantor, budhe membaiat saya untuk mengajar di depan. Fyuh…pengalaman pertama mengajar… Saya pikir, gampanglah mengajar anak-anak macam ini. Well, dugaan saya memang benar. Tinggal ngomong saja di depan kelas, plus bumbu-bumbu.sok tahu, semua pasti beres. Tapi itu hanya bertahan selama lima menit pertama. Karena salah seorang siswa yang tidak bisa melihat, tiba-tiba berkata, “Pak, ngga usah grogi gitu dong kalo ngomong. Saya kan ngga bisa lihat bapak.” Dezigg…ternyata saya ketahuan sedang terkena fever on stage a.k.a demam panggung.
Alih-alih biar tidak segera pingsan, saya meminta mereka untuk menyampaikan tugas yang mereka kerjakan secara lisan. Saya pun duduk, karena kaki saya gemetaran dan telapak tangan saya mulai berkeringat. (Duh…parah benget nih rayya!). Dan proses ‘alih-alih’ ini pun berjalan lancar. Kelas itu, yang terdiri dari sebelas anak ‘istimewa‘ itu, tiba-tiba berubah ramai. Begitu Avi –yang tadi mendapati saya grogi di depan kelas¬– menyampaikan cita-citanya menjadi pilot pesawat tempur, teman-teman sekelasnya berebut giliran ingin segera bicara. Ehm…sebagai seorang guru amatiran (sekali!) saya mendekati mereka satu-satu untuk menentukan urutan giliran.
Alhamdulillah, situasi bisa dikendalikan. Kebanyakan siswa memiliki cita-cita yang sama dengan kita waktu kecil. Seperti menjadi dokter, presiden, polisi, dan tentara. Tapi, ada empat di antara mereka yang begitu ‘cerdas’ dalam bercita-cita.
Fitra:
#laki-laki; 13 tahun; tuna netra;
"Besok kalau sudah gede, aku kepingin bisa melihat wajah ibu. Sejak masih minum susu, aku belum pernah lihat bagaimana rupa ibuku. Kata bapak, ibuku cantik. Tapi waktu aku pegang pipinya, kok kulit wajah ibu kasar. Kaya bika ambon yang biasa aku makan. Kalau aku bisa melihat nanti, jadi tahu siapa yang bohong. Aku, atau bapakku."
Zaki:
#laki-laki; 14 tahun; IQ <90
"Cita-citaku pingin kaya Mas Tarman. Mas Sutarman itu suka disuruh Pak Carik ngaji pas ada rapat di kecamatan. Kemarin aku ketemu mas Tarman. Dia bilang, ngaji itu bikin orang jadi pintar."
Uki:
#perempuan; 12 tahun; tuna grahita;
"Aku pingin ketemu Cici. Dia larinya cepat." (Kata Uki, Cici adalah nama panggilan atlet asal Indonesia yang menjuarai olimpiade anak cacat tingkat Asia. Tahun lalu, ia meraih medali emas untuk ketegori lari 100 meter. Untuk memahami cara Uki bicara memang susah. Tapi saya tahu penjelasannya dari tulisan yang ia buat di kertas)
Aulia:
#perempuan; 14 tahun; tuna rungu; tuna wicara;
"Aku mau jadi pengantin kaya abi. Waktu abi nikah sama Bibi Aisyah, aku dapat roti tart buanyaaaaak banget. Belum pernah aku makan roti yang di atasnya ada gambar orang sedang joget-joget (maksudnya lilin pengnatin yang sedang dansa). Manis banget. Banyak banget. Aku aja sampe belepotan makannya. Soalnya rebutan sama adek sih." (Budhe sudah kembali ke kelas. Beliau jadi penerjemah Uki untuk saya.)
Alif:
#laki-laki; 12 tahun
"Besok, saya cuma pingin sekolah di SMP umum yang teman-temannya baik. Mau jadi teman anak kecil yang jalannya pakai kursi roda kaya saya."
Entah apa alasan budhe mengajak saya ke sekolah yang berisi anak-anak istimewa itu. Hari itu, sabtu di antara libur pemilu, saya banyak belajar dari orang-orang yang sering termarjinalkan lantaran keterbatasan mereka dalam melakukan sesuatu. Lantas, bagaimana ya anak-anak seperti mereka berkomunikasi satu-sama lain?
Saya jadi sering bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa definisi dari normal itu? Kalau keterbatasan fisik dan kemampuan berfikir seseorang menyebabkan ia berstatus normal atau tidak normal, saya masuk kategori yang mana? Bukankah saya juga dalam banyak hal memiliki keterbatasan-keterbatasan itu?