April 23, 2009

Abnormalitas

Sabtu, di antara libur pemilu kemarin, budhe saya datang ke rumah abah. Ia meminta saya mengantarkan beliau ke tempat kerjanya di pinggiran kota. Bangunan di Jalan Kemuning itu adalah Sekolah Dasar yang dikelola oleh sebuah yayasan nonprofit. Laiknya SD pada umumnya, bangunan tersebut memiliki jumlah ruangan yang terdiri dari beberapa kelas, kantor guru, UKS, kantin, kamar kecil, dan area bermain, yang mengelilingi sebuah kolam kecil di tengahnya. Yang membedakan, adalah siswa-siswinya. Mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ya, bangunan itu adalah Sekolah Dasar Luar Biasa atau SDLB.

Budhe, adalah satu dari sekian banyak relawan pengajar. Sejak enam tahun yang lalu, SD swasta itu telah meluluskan puluhan muridnya. Hari itu, budhe mengajak saya masuk ke kelas enam. Saya disuruh duduk di bangku kosong pojok kanan (atas?). Siswa yang berjumlah sebelas hadir semua. Kebetulan, mata pelajaran saat itu adalah pengembangan diri. Mereka yang hadir diberi tugas untuk menulis tentang cita-cita yang ingin mereka raih.

Sewaktu meminta tanda tangan kepala sekolah di kantor, budhe membaiat saya untuk mengajar di depan. Fyuh…pengalaman pertama mengajar… Saya pikir, gampanglah mengajar anak-anak macam ini. Well, dugaan saya memang benar. Tinggal ngomong saja di depan kelas, plus bumbu-bumbu.sok tahu, semua pasti beres. Tapi itu hanya bertahan selama lima menit pertama. Karena salah seorang siswa yang tidak bisa melihat, tiba-tiba berkata, “Pak, ngga usah grogi gitu dong kalo ngomong. Saya kan ngga bisa lihat bapak.” Dezigg…ternyata saya ketahuan sedang terkena fever on stage a.k.a demam panggung.

Alih-alih biar tidak segera pingsan, saya meminta mereka untuk menyampaikan tugas yang mereka kerjakan secara lisan. Saya pun duduk, karena kaki saya gemetaran dan telapak tangan saya mulai berkeringat. (Duh…parah benget nih rayya!). Dan proses ‘alih-alih’ ini pun berjalan lancar. Kelas itu, yang terdiri dari sebelas anak ‘istimewa‘ itu, tiba-tiba berubah ramai. Begitu Avi –yang tadi mendapati saya grogi di depan kelas¬– menyampaikan cita-citanya menjadi pilot pesawat tempur, teman-teman sekelasnya berebut giliran ingin segera bicara. Ehm…sebagai seorang guru amatiran (sekali!) saya mendekati mereka satu-satu untuk menentukan urutan giliran.

Alhamdulillah, situasi bisa dikendalikan. Kebanyakan siswa memiliki cita-cita yang sama dengan kita waktu kecil. Seperti menjadi dokter, presiden, polisi, dan tentara. Tapi, ada empat di antara mereka yang begitu ‘cerdas’ dalam bercita-cita.

Fitra:
#laki-laki; 13 tahun; tuna netra;
"Besok kalau sudah gede, aku kepingin bisa melihat wajah ibu. Sejak masih minum susu, aku belum pernah lihat bagaimana rupa ibuku. Kata bapak, ibuku cantik. Tapi waktu aku pegang pipinya, kok kulit wajah ibu kasar. Kaya bika ambon yang biasa aku makan. Kalau aku bisa melihat nanti, jadi tahu siapa yang bohong. Aku, atau bapakku."

Zaki:
#laki-laki; 14 tahun; IQ <90
"Cita-citaku pingin kaya Mas Tarman. Mas Sutarman itu suka disuruh Pak Carik ngaji pas ada rapat di kecamatan. Kemarin aku ketemu mas Tarman. Dia bilang, ngaji itu bikin orang jadi pintar."

Uki:
#perempuan; 12 tahun; tuna grahita;
"Aku pingin ketemu Cici. Dia larinya cepat." (Kata Uki, Cici adalah nama panggilan atlet asal Indonesia yang menjuarai olimpiade anak cacat tingkat Asia. Tahun lalu, ia meraih medali emas untuk ketegori lari 100 meter. Untuk memahami cara Uki bicara memang susah. Tapi saya tahu penjelasannya dari tulisan yang ia buat di kertas)


Aulia:
#perempuan; 14 tahun; tuna rungu; tuna wicara;
"Aku mau jadi pengantin kaya abi. Waktu abi nikah sama Bibi Aisyah, aku dapat roti tart buanyaaaaak banget. Belum pernah aku makan roti yang di atasnya ada gambar orang sedang joget-joget (maksudnya lilin pengnatin yang sedang dansa). Manis banget. Banyak banget. Aku aja sampe belepotan makannya. Soalnya rebutan sama adek sih." (Budhe sudah kembali ke kelas. Beliau jadi penerjemah Uki untuk saya.)

Alif:
#laki-laki; 12 tahun
"Besok, saya cuma pingin sekolah di SMP umum yang teman-temannya baik. Mau jadi teman anak kecil yang jalannya pakai kursi roda kaya saya."


Entah apa alasan budhe mengajak saya ke sekolah yang berisi anak-anak istimewa itu. Hari itu, sabtu di antara libur pemilu, saya banyak belajar dari orang-orang yang sering termarjinalkan lantaran keterbatasan mereka dalam melakukan sesuatu. Lantas, bagaimana ya anak-anak seperti mereka berkomunikasi satu-sama lain?

Saya jadi sering bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa definisi dari normal itu? Kalau keterbatasan fisik dan kemampuan berfikir seseorang menyebabkan ia berstatus normal atau tidak normal, saya masuk kategori yang mana? Bukankah saya juga dalam banyak hal memiliki keterbatasan-keterbatasan itu?
Read More..

April 17, 2009

Kekuatan Itu Ada di Pagi Hari**

“Jika seorang hamba di pagi dan sore hari, tidak mempunyai keinginan apapun kecuali Allah SWT semata. Maka Allah akan memikul seluruh kebutuhannya. Allah akan memberikan semua yang menjadi keinginannya. Mengosongkan hatinya untuk cinta pada-Nya. Menjadikan lisannya berdzikir kepada-Nya. Menjadikan semua anggota tubuhnya memenuhi ketaatan pada-Nya” (Ibnul Qayyim)

Pagi yang menawan. Dingin, tapi menyejukkan. Semburat gradasi jingga membuat pola lukisan menakjubkan di ujung langit. Menggantikan warna kelam yang menyembunyikan keceriaan anak kecil. Dua partikel hidrogen merangkul satu partikel utama yang dihirup manusia. Bersenyawa, menjadi tetes embun yang melentikkan ujung-ujung daun bunga bakung.

Pagi itu begitu dingin. Nyaris menggumpalkan berliter-liter minyak kelapa yang disimpan nenek di dalam cendawan kaca. Tapi, tak sekalipun hawa dingin itu membekukan langkah orang-orang untuk merubah nasib. Anak belia yang bersegera berangkat ke sekolah. Lelaki-lelaki yang tak beralas kaki, berjalan menuju sawah dan ladang memenuhi panggilan jiwa. Para guru, dengan ilmu yang mereka miliki, siap memahat pikiran dan mengukir masa depan anak didiknya.




Yang paling indah adalah kaum hawanya. Mereka ini, adalah perempuan sejati: ibu-ibu rumah tangga. Sebelum semuanya bangun, sebelum semuanya tersadar, mereka sudah berada di dapur. Menyalakan tungku kayu yang ringkih. Menjerang air, menanak beras menjadi nasi. Dan semuanya itu, dijalankan sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dengan ikhlas. Tak ada imbalan apapun yang diharapkan.

Kata mereka, “Inilah bentuk perjuangan kami, Nak. Sebuah pengabdian kepada-Nya. Kami ini bukanlah wanita karir, atau perempuan-perempuan kota yang pandai bersolek. Gincu dan bedak, tidak akan membuat kami cantik. Parfum bermerk, juga tak akan membuat kami menjadi wangi. Tapi jelaga, Nak. Yang membuat kami merasa cantik. Tanpa jelaga di wajah dan tangan, kami bukanlah pengabdi setia. Bukan parfum wangi, tapi asap kayu bakar, yang menjadikan kami menjadi harum. Seolah-olah harum.”

Haha…celoteh ibu-ibu itu, menyimpulkan senyum di ujung bibirku. Lalu mereka melanjutkan, “Suami, anak, cucu, adalah ladang-ladang amal kami. Mereka adalah anugerah Allah Yang Maha Indah. Dan hanya Allah, Nak. Yang telah membuat kami cantik dengan berjelaga. Dan hanya Yang Maha Suci-lah, yang membuat kami harum dengan asap kayu bakar. Maka, tak sekalipun kami akan mendustakan-Nya. Tak sekalipun, kami ingkar kepada-Nya. Dan dengan demikian itulah, wujud syukur dan penghambaan kami kepada-Nya. Semua itu, berawal di pagi hari.”

***

Dan sekarang, aku berada di sebuah kota postmodern, megapolitan. Di mana setiap jengkal tanahnya adalah harta. Di mana setiap denyut jantungnya berarti nyawa. Di sinilah, —kata orang— peradaban maju ditemukan. Segala berita yang baru saja terjadi bisa kau temukan di sini.

Bagiku, pernyataan mereka tak selamanya benar. Tentang peradaban yang maju, aku anggukkan kepala. Juga tentang berita up to date, aku mengamininya. Tapi, semuanya itu seumpama pedang bersisi ganda. Jika tak mahir memainkannya, kita akan terluka. Dan sayangnya, aku termasuk yang tidak pandai mengayunkan pedang. Novice, amateur.

“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Betapa ucapan ibu-ibu itu –termasuk ibuku–, mengetuk dasar hatiku. Bagaimana tidak?

Kawan,
Pernahkan kita menghitung, berapa banyak kesempatan di waktu pagi yang kita lewatkan begitu saja. Aku sendiri, entahlah. Tak bisa aku hitung lagi. Ini tentang menyambut pagi. Tentang bangun pagi, untuk meraih kekuatan fisik dan batin. Kekuatan yang kita perlukan agar di waktu siang hinga malam, kita tetap ‘hidup’. Dan menyikapi shalat subuh, aku bersungguh-sungguh soal ini. Bukan maksud menggurui, aku juga bukan orang yang senantiasa bangun pagi. Bangun sebelum adzan subuh.

Seringkali,
Kelelahan di hari kemarin, benar-benar menidurkanku. Lelap, jatuh di bawah ketidaksadaran. Meski pendengaran sudah menangkap lantunan ajakan shalat, mata ini lebih lekat dengan buaian setan yang menyesatkan. Menyisakan kemalasan yang membutakan. Yang ada, aku melanjutkan tidurku. Hingga akhirnya terbangun dengan penyesalan yang dalam.

Kawan,
Hatiku kemudian berteriak, betapa aku telah menyia-nyiakan saat-saat terindah di awal hari. Subuh, adalah sebuah momentum. Tempat perlindungan manusia kepada Allah, dari bujuk rayu iblis dunia. Peristiwa, di mana sebuah pancaran kekuatan merubah nasib dimulai hari itu. Kemudian, sepanjang hari tak ada perasaan lagi selain menyesal. Bersalah karena telah melupakan hak-hak Allah atas makhluk-Nya. Dan memang benar, ketika pagi itu aku tidak bisa berjamaah subuh dengan orang-orang shalih, rasanya hati ini sempit. Tidak lapang. Jika senang, maka seolah-olah hanya semu. Bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Lagi-lagi, aku kecewa dengan diriku sendiri.

“Shalat terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan subuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat tersebut, tentunya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR Ahmad)

Aku teringat dengan tulisan Doktor Imad Ali Abdus Sami’ Husain dalam bukunya --Keajaiban Sholat Subuh--, “Sungguh, masjid-masjid di seluruh penjuru dunia ini merintih pedih dan mengeluh kepada Allah karena dijauhi oleh mayoritas kaum muslimin ketika shalat subuh dilaksanakan. Kalau bukan karena ketetntuan Allah bahwa benda-benda mati itu tidak bisa bicara, tentu manusia dapat mendengar suara rintihan dan gemuruh tangis masjid-masijd itu mengadu kepada Rabbnya Yang Agung.”

Kawan,
“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Bukan hanya tentang shalat subuh tepat waktu. Lebih jauh lagi. Dalam konteks lain, persiapan yang lebih awal mampu menyingkirkan kegagalan dan mendekatkan kita kepada puncak kejayaan. Semua pasti pernah mengenal pepatah “Gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan.” Mungkin itu juga yang menjadi alasan, mengapa Allah menjadikan pagi hari sebagai awal manusia dan makhluk-Nya untuk berkarya. Bukan siang, atau ketika hari sudah gelap.

Maka, tak ada alasan lain untuk menunda kewajiban. Manfaatkan momentum sekecil apapun di pagi hari, untuk mempersiapkan perbekalan. Karena semuanya ini, tidaklah abadi.

***

Masa kecilku, terukir di dalam cerita di awal tulisan ini. Sebuah kehidupan kecil di Lempuyang, sebuah desa terpencil di Temanggung. Mengenangnya, menghadirkan kedamaian tersendiri di tengah hingar bingar bising kepalsuan dunia. Namun di sisi lain, selalu muncul pertanyaan, “Mungkinkan aku bisa menjadi seperti mereka? Yang mampu meraih kekuatan di pagi hari. Sehingga bersemangat dalam berkarya. Tulus dan ikhlas mengabdi. Hanya untuk-Nya. Tuhanku Yang Maha Penyayang.”

Astaghfirullahal’adziim…

Kawan,
Simpulkanlah sendiri. Dari sebuah wasiat langsung pelaku bom syahid termuda di Palestina berikut ini. Namanya Muhammad Fathy Farahat. Umurnya baru beranjak 17 tahun. Wasiat ini, ditulis Farahat pada hari Jum’at, 1 Maret 2002, satu hari sebelum ia melakukan serangan yang mengantarkannya pada kematian yang ia dambakan: shalat subuh berjamaah.

“Saudaraku umat Islam, ketahuilah, sesungguhnya shalat subuh berjamaah adalah rahim yang melahirkan para pejuang dan pahlawan. Ia adalah tempat peraduan orang-orang ikhlash. Melaksanakan shalat subuh berjamaah, adalah ciri-ciri para mujahidin, indikasi kemenangan dan sifat-sifat orang shaleh. Sungguh amat banyak kebaikan yang tak ternilai di waktu itu.”

Everyday is a brand new day.
Where your dreams start.
When your hope calls to be fulfilled.


** maaf hanya repost. in memoriam of a very respected friend.
Read More..

April 15, 2009

Baru Dua Puluh Dua Hari

Libur pemilu kemarin lumayan lama. Beberapa teman saya memanfaatkan momen ini untuk mudik, termasuk rayya. Selain untuk menggunakan hak suara, kumpul dengan keluarga juga sudah lama tidak saya rasakan. Ya begitulah kaum mudikiawan dan mudikiawati. Mudik artinya tidak bisa main internet, karena ‘internet masuk kampung’ belum menyentuh tempat tinggal saya.

Kebetulan, teman mba’ saya punya hape yang bisa digunakan untuk browsing. Alih-alih minta pulsa, saya buka aplikasi Opera mini dan klik… halaman depan blog ini terbuka. Sesaat melihat postingan terakhir dan…. gubruk!!! *lebihparahdarigubrak* di bagian komentar ada pemberitahuan dari Mas Hafid Algristian bahwa blog ini mendapatkan award dari beliau.


























Kaget campur malu. Apanya yang bagus ya dari blog ini? Belum lagi –saat diberi award itu– usia blog ini baru dua puluh dua hari. Iya, masih seusia anak ayam yang baru menetas. Sepertinya masih banyak blog lain yang lebih bagus dari sekedar tulisan-tulisan saya yang biasa ini. Namun bagaimanapun, amanah tetap harus dilaksanakan.

Berikut adalah peraturannya yang saya salin dari blog Mas Hafid:
  1. Letakkan logo ini ke dalam postingan Anda.
  2. Nominasikan/anugerahkan sedikitnya kepada 10 teman Blogger Anda.
  3. Jangan lupa memasukkan link teman Anda yang masuk dalam nominasi tersebut.
  4. Agar mereka mengetahui bahwa mereka sedang mendapatlan Awards ini, maka Anda sebaiknya memberitahunya dengan berkomentar di posting mereka!
  5. Bagilah cinta dan link di dalam postingan ini dan dari orang yang menganugerahi Awards tersebut.
Maka sesuai peraturan award ini juga harus diteruskan. Dan saya memutuskan untuk meneruskan award ini kepada:
  1. Mas Itmam Aulia
  2. Mba Astri Maulikha
  3. Mas Nuno Orange
  4. Mba Khalifatun Nisa
  5. Pak Dhe Wicak
  6. Mas Achoey
  7. Mba Fitri
  8. Mas Bayu Ardiansyah
  9. Mas Muhamaze
  10. Mas Rizal
  11. Mas Irfan Muhamad
Terima kasih banyak kepada Mas Hafid Algristian. Saya yakin bahwa pemberian award ini tidak hanya sebatas ‘estafet award’ saja. Tapi tentu ada itikad baik di baliknya. Betul tidak Mas?

Kepada nama-nama sahabat yang mendapat award ini, satu doa saya: semoga berkah.
Read More..

April 08, 2009

Mbah Suneri Jualan Lagi

Jalanan masih belum begitu ramai, ketika ia mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Lampu-lampu penerang masih bekerja menggantikan matahari yang belum menggeliat. Hanya beberapa bus malam yang sekejap melintas mengaburkan nyanyian jangkrik dan belalang. Sesekali, dedaunan Bougainville mengibaskan tetes embun jenuh dari ujung-ujungnya.

Ia adalah Mbah Suneri. Perempuan usia hampir delapanpuluhan itu sudah siap menyambut hari. Jam setengah empat pagi. Dengan pakaiannya yang berlapis-lapis, ia berjalan kaki menuju pasar. Melintasi kampung-kampung, yang sebagian besar warganya masih terlelap dalam kehangatan selimut dan tidurnya yang panjang atas pelampiasan kelelahan kemarin. Kecuali orang-orang yang sudah terjaga untuk menyendiri bersama Tuhannya.


Mbah Neri, begitu ia akrab disapa. Jarak antara tempat tinggalnya di Kaliwuluh dengan pasar Pucang sekitar dua kilometer. Ditemani tiga barang bawaannya: bakul, tampah, dan satu tas jinjing berwarna abu-abu. Ketika adzan shubuh memanggil, ia letakkan dua barang bawaannya itu di serambi. Hanya tas jinjing abu-abu yang tetap dibawanya, berisi mukena bersih dan selembar sajadah kecil.

Selepas subuh Pasar Pucang kian ramai. Seperti biasa, Mbah Neri menyusuri lapak demi lapak untuk membeli sayuran hijau, beberapa kilo daging, minyak goreng, bumbu-bumbu masak, serta sejumlah kebutuhan dapur. Begitu semua terbeli, ia masukkan belanjaan ke dalam bakul dan digendongnya. Berpindah ke sisi lain dari pasar Pucang adalah bagian jajanan pasar. Ia lalu membeli kue pukis, tekwan, klepon, nagasari, putu mayang, dan serabi gula kelapa, yang semuanya masih dalam keadaan hangat. Ini terjadi karena Mbah Neri selalu menjadi pembeli pertama dari tiap-tiap lapak yang baru saja buka. Kali ini tampah yang dijadikan tempat untuk menaruh jajanan pasar. Sesaat kemudian, tampah itu disungginya di atas kepala.

Pukul enam pagi, ia memulai menjajakan sejumlah belanjaan yang ia beli di pasar Pucang. Kali ini jalan raya sudah mulai padat sesak oleh kendaraan berbagai ukuran. Mulai dari roda dua hingga yang beroda dua belas, dari plat hitam sampai plat merah. Melintasi jalan kampung yang ia lewati saat berangkat tadi, tujuan pertamanya adalah sepetak tanah sempit di sebelah SMP. Tanpa berkoar-koar atau menggunakan sirine khusus, ibu-ibu langganannya sudah tentu hafal bahwa pada pukul enam –kadang-kadang lebih– Mbah Neri sudah ‘mangkal’ di situ.

Sekitar satu jam kemudian, ia berpindah ke tempat yang lain. Kali ini berjalan menyusuri komplek perumahan, yang tembok pembatas antarrumah lebih tinggi dari atapnya, dan pagar halaman depan yang rapat, nyaris menutup semua pandangan dari orang-orang yang lewat di depannya. Kata orang, ini adalah simbol dari berkurangnya rasa percaya terhadap tetangga dekat, atau paranoid atas kemungkinan dibobolnya rumah mereka yang berisi pajangan berlabel luar negeri.

Setengah delapan, Mbah Neri sampai di samping rumah Bu Darmi dari RW XI. Ia meletakkan bakul dan tampahnya di atas tanah. Menggelar belanja bawaannya barang beberapa saat sambil rehat sejenak. Pembeli –sebagaimana setiap harinya- juga berkumpul memilih apa-apa yang hendak mereka beli. Sangat kontras. Pemandangannya terlalu kontras. Di depan rumah Bu Darmi adalah minimarket swalayan superkomplit, yang baru saja buka. Tapi Mbah Neri tak pernah kehilangan pelanggan. Mereka bilang, mereka tak mendapat cerita-cerita jaman silam kalau belanja di minimarket penyedia kebutuhan instant di depan itu. Menurut mereka juga, ternyata Mbah Neri adalah perempuan yang memerontak dan melarikan diri ketika tentara Nippon memaksanya menjadi Jugun Ianfu.

Dari satu tempat ke lokasi lain, satu rumah ke komplek lain. Begitu perempuan lanjut itu menjalankan aktivitasnya. Setiap hari. Menjajakan sayuran dan jajanan pasar. Ia seperti supplier sayur dan kebutuhan dapur untuk skala perorangan. Dengan caranya yang unik, ia telah berhasil memikat warga-warga kampung untuk selalu menunggu kedatangannya.

Termasuk anak-anak TK Perwanida, dengan keluguan mereka sering berebut kue cucur di tampah yang disungginya. Kue cucur ini adalah 'the most wanted' bagi bocah-bocah kecil lucu. Maklum, Mbah Neri adalah sang maestro yang secara turun-temurun mewarisi kemahiran membuat kue bundar pipih berwarna coklat berpuluh-puluh tahun lalu. Di sini, anak-anak diajari jujur berhitung. Karena Mbah Neri tak bisa membedakan uang seribu dengan sepuluh ribu; lima ribu dengan seratus ribu.

Selain Mbah Suneri, tentu masih banyak pedagang sayur lain yang berkeliling dengan gerobak, sepeda onthel, atau bahkan mobil bak terbuka. Tapi ia tak ingin menyerah pada keadaan. Tetap berjualan meski hanya berjalan kaki. Menjalankan profesi yang telah lama ia tekuni, bukan sekedar untuk menyambung hidup. Atau sebatas eksis di dunia pertukangsayuran.

Si Mbah ini punya seorang anak laki-laki dan sudah berkeluarga. Hidup mereka bahagia dan lebih dari status berkecukupan. Orang-orang yang belum mengenalnya sering bertanya heran, mengapa ia tak ikut tinggal dan hidup bersama putra semata wayangya. Ia justru bersusah-susah keliling jualan sayuran yang untungnya belum tentu mencukupkan. Kata ibu saya yang juga pelanggan setia beliau, ia lebih memilih menjalankan semua itu daripada tinggal bersama anaknya yang telah menyembah berhala dan patung-patung rupa manusia.

Mbah Neri bukanlah orang yang gila gengsi. Jika memang gengsi, ia tentu akan menolak pemberian satu dua piring nasi dan lauk dari para penderma. Tak pernah ia sekalipun menolak pemberian orang-orang yang begitu menyayanginya; tetangga-tetangga dekat. Ia justru menjadi perpanjangan tangan-tangan kebaikan. Setiap kali ia diberi sesuatu, kedua tangannya menyambut halus, dengan diiringi ikrar plus senyum senang: “Matur nuwun ya… Makanan ini saya terima. Pasti anak-anak di panti itu juga senang”. Begitu selalu, apa yang diterimanya ia bagi-bagikan dengan penghuni panti asuhan di dekat rumahnya.

Demikianlah, saya begitu mengagumi Mbah Neri. Seorang perempuan renta yang selalu memberikan banyak pelajaran, tanpa menggunakan buku-buku. Pembelajar dan pengajar nilai-nilai kehidupan, tanpa menyandang status guru. Sejak tujuh bulan yang lalu, ia tak bisa jualan lagi, lantaran kakinya nyaris lumpuh terkena gejala stroke. Menurut dokter klinik, kemungkinan besar ia tak akan bisa berjalan jauh. Artinya, ia tentu tak bisa jualan sayur keliling lagi.

Hanya orang-orang yang ikhlas dan berjiwa besar yang sanggup melewati ujian berat. Maha Suci Allah dengan segala kemurahan-Nya. Kemarin, ibu saya sms, katanya Mbah Suneri bisa berjalan lagi. Ia bahkan sudah berjualan lagi, meski kali ini jarak tempuh yang dilaluinya tak sejauh dulu lagi. Namun bukan karena itu yang membuat saya dan ibu saya, juga orang-orang kampung begitu takzim kepada beliau. Bukan pula karena catatan-catatan kedermawaannya; teguhnya pendirian beliau; atau pula filosofinya tentang bagaimana menjalani hidup sebenarnya. Tetapi karena sejak lahir hingga sekarang, Mbah Suneri menjalani hari-harinya dengan sepasang mata dalam keadaan buta.
Read More..

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP