“Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga. Kering!!” Itu pesan singkat yang aku baca begitu masuk kamar. Nama pengirimnya ada di bagian ujung bawah. Seorang kawan dari kota sebelah. Saat ini adalah musim hujan. Berkendara dengan roda dua setiap kali pulang dari kampus, hampir selalu kehujanan. Terlebih lagi ia tinggal di kaki gunung yang menjadi daerah bayangan hujan. Artinya, curah hujan di sana lebih tinggi daripada daerah lainnya. Jikalau di sini langit baru nampak mendung, maka di rumahnya sana langit sudah menumpahkan beban air yang menggantung karena sampai pada titik jenuhnya. One step ahead. Begitu ia merepresentasikan tempat tinggalnya
Beruntung tempat tinggalku hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari kampus. Tidak perlu berakting menjadi prajurit perang atau bintang film seperti itu untuk lari dari hujan. Tapi memang benar, ketika aku lihat langit, keadaannya benar-benar gelap. Awan begitu pekat. Lebih mirip polutan asap yang keluar dari knalpot bis rongsok reyot. Sesekali suara gemuruh keras menjadi back sound atas kilat yang menari-nari. Melompat-lompat dari awan yang satu ke gumpalan serupa yang berdekatan. Muatan elektron positif dan negatif benar-benar menampilkan pertunjukan yang spektakuler. Layaknya pentas budaya; langit menjadi latar, awan adalah panggung, kilat sebagai pemain, geluduk merupakan irama, Ia adalah sutradara, dan manusia yang kecil berperan sebagai penonton pasif. Indah dan menakjubkan.
Tanpa menunggu aba-aba, di tengah pertunjukan itu, bumi hujan. Sangat deras. Sungguh, Allah menampakkan kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Lisan-lisan manusia angkuh, terbungkam oleh kerasnya suara air yang tumpah dari atap bumi. Menghentikan sesaat perjalanan pengendara yang kadang ugal-ugalan dan mau menang sendiri. Atau orang-orang pembabat hutan yang harus berlindung dari kemungkinan becana longsor atau banjir. Subhanallah…
Sudah melewati dua waktu shalat di petang hari. Langit tidak lagi menangis. Pertunjukan pentas budaya sudah selesai. Sang Sutradara telah mengumpulkan dan menyatukan frame-frame kejadian. Sisanya, adalah reaksi yang beragam dari para penontonnya: manusia. Ada yang mengumpat karena tubuh mereka basah kuyup, mobil mereka yang menjadi kotor, atau pengendara sepeda motor yang harus memutar haluan lebih jauh karena ruas-ruas jalan tergenang rob. Di ujung lain, ada juga yang bersyukur karena hujan adalah berkah. Tak menyebabkan becana ataupun musibah. Ujar mereka, “…yang menciptakan hujan adalah yang menciptakan kami pula. Hujan adalah berkah.”
Aku tak bisa tidur. Insomnia? Mungkin. Udara di dalam kamar terasa agak pengap. Kucoba keluar untuk menghirup oksigen yang lebih segar. Dan aku mendapatkannya. Kutatap langit, kali ini ia sangat indah. Tampilannya semakin cantik dengan ttik-titik benda angkasa bercahaya. Jumlahnya sangat banyak. Sebagian kecil ada yang membentuk gugusan tersendiri. Pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Maka kupanjat meja di bawah tritisan, hingga sampai di atap.
Suasananya sangat tenang. Hening. Jauh dari hingar-bingar suara yang kadang menyakitkan . Di atas genting yang tak lagi basah, kurebahkan tubuhku., terlentang menghadap bintang-bintang dingin. Mencoba bertanya pada diri, apa yang tidak bisa membuatku tidur. Pita rekaman kejadian dari pagi hingga detik ini seperti terurai. Memori kemudian menunjuk pada bagian awal rol pita itu. Mirip jarum optik yang membaca compact disc secara sekuensial…
Pagi tadi aku bangun terlalu siang. Terjaga ketika hari sudah tak lagi gelap. Matahari menertawakanku, karena ia berhasil lebih dulu memangunkan manusia dan penghuni dunia. Aku malu. Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya Berteduhlah di Taman Hati menulis, “Mulailah berburu pahala sejak pagi hari. Bacalah Al-Qur’an dan berdzikirlah. Bacalah doa dan bersyukurlah. Karena di pagi hari adalah saat bertolak burung-burung dari sarangnya. Dan jangan lupa, sabda Rasulullah SAW, ‘Keberkahan Allah untuk umatku ada pada pagi harinya’”.
Karena tidak ingin terlambat sampai di kampus, kupinjam sepeda milik adikku yang tidak dipakai. Diam-diam, tanpa meminta ijin dulu. Begitu sore hari aku akan pulang, pedal sisi kanan pecah, meski tak terlalu parah. Dengan alasan takut dimarahi, sampai saat ini aku belum mengaku dan meminta maaf tentang kondisi sepedanya. Kelihatan sekali, bahwa Rayya bukan pemberani.
Ujian BK yang masih menyisakan beberapa bab, memaksaku untuk secepat mungkin menyelesaikannya. Bagiku, soal-soal ujian kali ini lumayan sulit. Pertanyaan yang ditulis dalam language, plus pertanyaan jebakan, memaksa otak berpikir keras dan fokus. Buruknya, aku jadi acuh dengan seruan Allah. Tak kuhiraukan panggilan adzan Dzuhur dan Ashar tepat waktu. Toh agak telat sedikit juga masih cukup waktunya. Begitu pikirku. Setan begitu kuat menggenggam niat. Membenamkan tekad untuk berdialog langsung dengan-Nya tepat waktu. Untuk bercerita, mengeluh, dan mengaduh hanya kepada Dzat Yang Maha Mencintai.
Rekaman peristiwa demi peristiwa terus berjalan berurutan di kepalaku. A full playback. Hingga sore itu, aku seperti bisa merasakan kesedihan saudaraku yang tidak bisa pulang. Mungkin beginilah kehendak Allah, manusia itu berbatas. Allah Maha Berkehendak, dan manusia tak punya kuasa atas segala apapun.
Astaghfirullahal’adzim…
Bintang di langit jauh masih berkedip-kedip. Satu menyapa yang lain, saling menggoda, memamerkan kecantikan malam. Sementara di antara mereka, ada Sang Ratu Malam bak bola emas di langit hitam. Jam dinding merk Junghans terus berdenting. Suaranya sayup-sayup terdengar di atas atap. Waktu, memang tak pernah berhenti. Sesaat, aku merasakan energi pancaran Ilahi yang menenangkan hati, menenteramkan batin. Dengan skala apapun, kekuatan Allah tak akan pernah terbilang.
Ya Allah, Maafkanlah atas kelalaianku. Hari ini, kau bisa saja menghukumku atas segala kesalahan. Tuhanku, Kau bisa saja, tidak membangunkan aku dari tidur pagi ini. Hingga tak pernah bisa kutatap matahari lagi.
Pun begitu, Ya Allah. Ampunkaknlah hamba yang pandai berbohong. Boleh saja –dengan ketidakjujuranku–, Engkau berbuat hingga aku tak dapat mengayuh sepeda lagi. Juga dengan keluhan karena hujan yang membuatku tak bisa pergi ke luar rumah. Allah pun boleh menjadikan hujan itu tak henti-henti menerjang bumi. Menjadikannya air bah yang menghanyutkan.
Atau, telingaku bisa saja setiap saat Engkau jadikan tuli. Tak mampu menangkap frekuensi normal suara yang bisa didengar manusia. Karena tak kuhiraukan panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat atas perintah-Mu. Tidak seperti Rasulullah dan sahabatnya, yang ketika lelah, ia meminta Bilal untuk mengistirahatkan mereka dengan Shalat.
Atau, segalanya bisa terjadi atas kehendak-Mu. Apa-apa yang tidak kami inginkan, Engkau timpakan secara tiba-tiba. Boleh jadi, tapi Engaku tidak melakukannya. Subhanallah, tak pernah Engkau menguji kami melebihi atas kemampuan yang kami miliki. Seburuk apapun perangai kami, tak pernah Engkau celakakan kami. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni kesalahan-kesalahan kami. Tak Kau tumpahkan kemarahan-Mu kepada kami di dunia ataupun akhirat.
Allah Engkau Dekat
Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau Biarkan
Hamba-Mu Menangis
Karena Kemurahan-Mu
Karena Kasih Sayang-Mu
(Opick, Cahaya Hati)
Pelan-pelan, pelupuk mataku menutup. Rindu mendekap rindu, senyum berpeluk-peluk. Energi yang kurasakan semakin hangat. Seolah-olah menyusup melalui celah pori kulit pembungkus tulang; seolah-olah Allah menyelimutiku dengan kasih sayang-Nya yang tak berbilang.
Kini, di atas atap ini, aku kembali menemukan waktu pada ruas-ruasnya. Gravitasi seperti tak berlaku. Ia berada pada titik nol. Kurengkuh pelukan-Nya erat-erat. Tak ingin kulepaskan. Inginku berlari sekencang-kencang untuk menggapai uluran tangan-Nya. Ya Allah hanya Engkaulah tempat kami bergantung… Jangan sekalipun Engkau berpaling dari kami meski kami terkadang berpaling dari-Mu. Astaghfirullahal’adzim.
Perlahan, dari sudut kedua mataku setitik demi setitik air menetes hangat...
Read More..
Maka pulang dalam keadaan kering –menurutnya– adalah sebuah prestasi yang keren. Sering ia menggambarkan bahwa perjalanannya ketika langit mendung, seolah-olah ia akan berangkat perang. Warna awan yang pekat hitamnya, melukiskan medan pertempuran yang luluh lantak karena peluru meriam yang berdentuman menghujam tanah. Tapi perumpamaan yang ini masih lumayan normal, daripada hayalan tinkgat tingginya yang lain. Untuk mengiaskan kondisi yang sama, ia sering merasa seperti masuk ke pusat pusaran badai tornado; angin topan; –atau apalah ia bilang— dalam film Twister. Ahh…berlebihan!. Kadang fantasinya jauh di luar batas. Penyakit gila #29!!!
Beruntung tempat tinggalku hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari kampus. Tidak perlu berakting menjadi prajurit perang atau bintang film seperti itu untuk lari dari hujan. Tapi memang benar, ketika aku lihat langit, keadaannya benar-benar gelap. Awan begitu pekat. Lebih mirip polutan asap yang keluar dari knalpot bis rongsok reyot. Sesekali suara gemuruh keras menjadi back sound atas kilat yang menari-nari. Melompat-lompat dari awan yang satu ke gumpalan serupa yang berdekatan. Muatan elektron positif dan negatif benar-benar menampilkan pertunjukan yang spektakuler. Layaknya pentas budaya; langit menjadi latar, awan adalah panggung, kilat sebagai pemain, geluduk merupakan irama, Ia adalah sutradara, dan manusia yang kecil berperan sebagai penonton pasif. Indah dan menakjubkan.
Tanpa menunggu aba-aba, di tengah pertunjukan itu, bumi hujan. Sangat deras. Sungguh, Allah menampakkan kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Lisan-lisan manusia angkuh, terbungkam oleh kerasnya suara air yang tumpah dari atap bumi. Menghentikan sesaat perjalanan pengendara yang kadang ugal-ugalan dan mau menang sendiri. Atau orang-orang pembabat hutan yang harus berlindung dari kemungkinan becana longsor atau banjir. Subhanallah…
Sudah melewati dua waktu shalat di petang hari. Langit tidak lagi menangis. Pertunjukan pentas budaya sudah selesai. Sang Sutradara telah mengumpulkan dan menyatukan frame-frame kejadian. Sisanya, adalah reaksi yang beragam dari para penontonnya: manusia. Ada yang mengumpat karena tubuh mereka basah kuyup, mobil mereka yang menjadi kotor, atau pengendara sepeda motor yang harus memutar haluan lebih jauh karena ruas-ruas jalan tergenang rob. Di ujung lain, ada juga yang bersyukur karena hujan adalah berkah. Tak menyebabkan becana ataupun musibah. Ujar mereka, “…yang menciptakan hujan adalah yang menciptakan kami pula. Hujan adalah berkah.”
Aku tak bisa tidur. Insomnia? Mungkin. Udara di dalam kamar terasa agak pengap. Kucoba keluar untuk menghirup oksigen yang lebih segar. Dan aku mendapatkannya. Kutatap langit, kali ini ia sangat indah. Tampilannya semakin cantik dengan ttik-titik benda angkasa bercahaya. Jumlahnya sangat banyak. Sebagian kecil ada yang membentuk gugusan tersendiri. Pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Maka kupanjat meja di bawah tritisan, hingga sampai di atap.
Suasananya sangat tenang. Hening. Jauh dari hingar-bingar suara yang kadang menyakitkan . Di atas genting yang tak lagi basah, kurebahkan tubuhku., terlentang menghadap bintang-bintang dingin. Mencoba bertanya pada diri, apa yang tidak bisa membuatku tidur. Pita rekaman kejadian dari pagi hingga detik ini seperti terurai. Memori kemudian menunjuk pada bagian awal rol pita itu. Mirip jarum optik yang membaca compact disc secara sekuensial…
Pagi tadi aku bangun terlalu siang. Terjaga ketika hari sudah tak lagi gelap. Matahari menertawakanku, karena ia berhasil lebih dulu memangunkan manusia dan penghuni dunia. Aku malu. Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya Berteduhlah di Taman Hati menulis, “Mulailah berburu pahala sejak pagi hari. Bacalah Al-Qur’an dan berdzikirlah. Bacalah doa dan bersyukurlah. Karena di pagi hari adalah saat bertolak burung-burung dari sarangnya. Dan jangan lupa, sabda Rasulullah SAW, ‘Keberkahan Allah untuk umatku ada pada pagi harinya’”.
Karena tidak ingin terlambat sampai di kampus, kupinjam sepeda milik adikku yang tidak dipakai. Diam-diam, tanpa meminta ijin dulu. Begitu sore hari aku akan pulang, pedal sisi kanan pecah, meski tak terlalu parah. Dengan alasan takut dimarahi, sampai saat ini aku belum mengaku dan meminta maaf tentang kondisi sepedanya. Kelihatan sekali, bahwa Rayya bukan pemberani.
Ujian BK yang masih menyisakan beberapa bab, memaksaku untuk secepat mungkin menyelesaikannya. Bagiku, soal-soal ujian kali ini lumayan sulit. Pertanyaan yang ditulis dalam language, plus pertanyaan jebakan, memaksa otak berpikir keras dan fokus. Buruknya, aku jadi acuh dengan seruan Allah. Tak kuhiraukan panggilan adzan Dzuhur dan Ashar tepat waktu. Toh agak telat sedikit juga masih cukup waktunya. Begitu pikirku. Setan begitu kuat menggenggam niat. Membenamkan tekad untuk berdialog langsung dengan-Nya tepat waktu. Untuk bercerita, mengeluh, dan mengaduh hanya kepada Dzat Yang Maha Mencintai.
Rekaman peristiwa demi peristiwa terus berjalan berurutan di kepalaku. A full playback. Hingga sore itu, aku seperti bisa merasakan kesedihan saudaraku yang tidak bisa pulang. Mungkin beginilah kehendak Allah, manusia itu berbatas. Allah Maha Berkehendak, dan manusia tak punya kuasa atas segala apapun.
Astaghfirullahal’adzim…
Bintang di langit jauh masih berkedip-kedip. Satu menyapa yang lain, saling menggoda, memamerkan kecantikan malam. Sementara di antara mereka, ada Sang Ratu Malam bak bola emas di langit hitam. Jam dinding merk Junghans terus berdenting. Suaranya sayup-sayup terdengar di atas atap. Waktu, memang tak pernah berhenti. Sesaat, aku merasakan energi pancaran Ilahi yang menenangkan hati, menenteramkan batin. Dengan skala apapun, kekuatan Allah tak akan pernah terbilang.
Ya Allah, Maafkanlah atas kelalaianku. Hari ini, kau bisa saja menghukumku atas segala kesalahan. Tuhanku, Kau bisa saja, tidak membangunkan aku dari tidur pagi ini. Hingga tak pernah bisa kutatap matahari lagi.
Pun begitu, Ya Allah. Ampunkaknlah hamba yang pandai berbohong. Boleh saja –dengan ketidakjujuranku–, Engkau berbuat hingga aku tak dapat mengayuh sepeda lagi. Juga dengan keluhan karena hujan yang membuatku tak bisa pergi ke luar rumah. Allah pun boleh menjadikan hujan itu tak henti-henti menerjang bumi. Menjadikannya air bah yang menghanyutkan.
Atau, telingaku bisa saja setiap saat Engkau jadikan tuli. Tak mampu menangkap frekuensi normal suara yang bisa didengar manusia. Karena tak kuhiraukan panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat atas perintah-Mu. Tidak seperti Rasulullah dan sahabatnya, yang ketika lelah, ia meminta Bilal untuk mengistirahatkan mereka dengan Shalat.
Atau, segalanya bisa terjadi atas kehendak-Mu. Apa-apa yang tidak kami inginkan, Engkau timpakan secara tiba-tiba. Boleh jadi, tapi Engaku tidak melakukannya. Subhanallah, tak pernah Engkau menguji kami melebihi atas kemampuan yang kami miliki. Seburuk apapun perangai kami, tak pernah Engkau celakakan kami. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni kesalahan-kesalahan kami. Tak Kau tumpahkan kemarahan-Mu kepada kami di dunia ataupun akhirat.
Allah Engkau Dekat
Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau Biarkan
Hamba-Mu Menangis
Karena Kemurahan-Mu
Karena Kasih Sayang-Mu
(Opick, Cahaya Hati)
Pelan-pelan, pelupuk mataku menutup. Rindu mendekap rindu, senyum berpeluk-peluk. Energi yang kurasakan semakin hangat. Seolah-olah menyusup melalui celah pori kulit pembungkus tulang; seolah-olah Allah menyelimutiku dengan kasih sayang-Nya yang tak berbilang.
Kini, di atas atap ini, aku kembali menemukan waktu pada ruas-ruasnya. Gravitasi seperti tak berlaku. Ia berada pada titik nol. Kurengkuh pelukan-Nya erat-erat. Tak ingin kulepaskan. Inginku berlari sekencang-kencang untuk menggapai uluran tangan-Nya. Ya Allah hanya Engkaulah tempat kami bergantung… Jangan sekalipun Engkau berpaling dari kami meski kami terkadang berpaling dari-Mu. Astaghfirullahal’adzim.
Perlahan, dari sudut kedua mataku setitik demi setitik air menetes hangat...