Jalanan masih belum begitu ramai, ketika ia mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Lampu-lampu penerang masih bekerja menggantikan matahari yang belum menggeliat. Hanya beberapa bus malam yang sekejap melintas mengaburkan nyanyian jangkrik dan belalang. Sesekali, dedaunan Bougainville mengibaskan tetes embun jenuh dari ujung-ujungnya.
Ia adalah Mbah Suneri. Perempuan usia hampir delapanpuluhan itu sudah siap menyambut hari. Jam setengah empat pagi. Dengan pakaiannya yang berlapis-lapis, ia berjalan kaki menuju pasar. Melintasi kampung-kampung, yang sebagian besar warganya masih terlelap dalam kehangatan selimut dan tidurnya yang panjang atas pelampiasan kelelahan kemarin. Kecuali orang-orang yang sudah terjaga untuk menyendiri bersama Tuhannya.
Mbah Neri, begitu ia akrab disapa. Jarak antara tempat tinggalnya di Kaliwuluh dengan pasar Pucang sekitar dua kilometer. Ditemani tiga barang bawaannya: bakul, tampah, dan satu tas jinjing berwarna abu-abu. Ketika adzan shubuh memanggil, ia letakkan dua barang bawaannya itu di serambi. Hanya tas jinjing abu-abu yang tetap dibawanya, berisi mukena bersih dan selembar sajadah kecil.
Selepas subuh Pasar Pucang kian ramai. Seperti biasa, Mbah Neri menyusuri lapak demi lapak untuk membeli sayuran hijau, beberapa kilo daging, minyak goreng, bumbu-bumbu masak, serta sejumlah kebutuhan dapur. Begitu semua terbeli, ia masukkan belanjaan ke dalam bakul dan digendongnya. Berpindah ke sisi lain dari pasar Pucang adalah bagian jajanan pasar. Ia lalu membeli kue pukis, tekwan, klepon, nagasari, putu mayang, dan serabi gula kelapa, yang semuanya masih dalam keadaan hangat. Ini terjadi karena Mbah Neri selalu menjadi pembeli pertama dari tiap-tiap lapak yang baru saja buka. Kali ini tampah yang dijadikan tempat untuk menaruh jajanan pasar. Sesaat kemudian, tampah itu disungginya di atas kepala.
Pukul enam pagi, ia memulai menjajakan sejumlah belanjaan yang ia beli di pasar Pucang. Kali ini jalan raya sudah mulai padat sesak oleh kendaraan berbagai ukuran. Mulai dari roda dua hingga yang beroda dua belas, dari plat hitam sampai plat merah. Melintasi jalan kampung yang ia lewati saat berangkat tadi, tujuan pertamanya adalah sepetak tanah sempit di sebelah SMP. Tanpa berkoar-koar atau menggunakan sirine khusus, ibu-ibu langganannya sudah tentu hafal bahwa pada pukul enam –kadang-kadang lebih– Mbah Neri sudah ‘mangkal’ di situ.
Sekitar satu jam kemudian, ia berpindah ke tempat yang lain. Kali ini berjalan menyusuri komplek perumahan, yang tembok pembatas antarrumah lebih tinggi dari atapnya, dan pagar halaman depan yang rapat, nyaris menutup semua pandangan dari orang-orang yang lewat di depannya. Kata orang, ini adalah simbol dari berkurangnya rasa percaya terhadap tetangga dekat, atau paranoid atas kemungkinan dibobolnya rumah mereka yang berisi pajangan berlabel luar negeri.
Setengah delapan, Mbah Neri sampai di samping rumah Bu Darmi dari RW XI. Ia meletakkan bakul dan tampahnya di atas tanah. Menggelar belanja bawaannya barang beberapa saat sambil rehat sejenak. Pembeli –sebagaimana setiap harinya- juga berkumpul memilih apa-apa yang hendak mereka beli. Sangat kontras. Pemandangannya terlalu kontras. Di depan rumah Bu Darmi adalah minimarket swalayan superkomplit, yang baru saja buka. Tapi Mbah Neri tak pernah kehilangan pelanggan. Mereka bilang, mereka tak mendapat cerita-cerita jaman silam kalau belanja di minimarket penyedia kebutuhan instant di depan itu. Menurut mereka juga, ternyata Mbah Neri adalah perempuan yang memerontak dan melarikan diri ketika tentara Nippon memaksanya menjadi Jugun Ianfu.
Dari satu tempat ke lokasi lain, satu rumah ke komplek lain. Begitu perempuan lanjut itu menjalankan aktivitasnya. Setiap hari. Menjajakan sayuran dan jajanan pasar. Ia seperti supplier sayur dan kebutuhan dapur untuk skala perorangan. Dengan caranya yang unik, ia telah berhasil memikat warga-warga kampung untuk selalu menunggu kedatangannya.
Termasuk anak-anak TK Perwanida, dengan keluguan mereka sering berebut kue cucur di tampah yang disungginya. Kue cucur ini adalah 'the most wanted' bagi bocah-bocah kecil lucu. Maklum, Mbah Neri adalah sang maestro yang secara turun-temurun mewarisi kemahiran membuat kue bundar pipih berwarna coklat berpuluh-puluh tahun lalu. Di sini, anak-anak diajari jujur berhitung. Karena Mbah Neri tak bisa membedakan uang seribu dengan sepuluh ribu; lima ribu dengan seratus ribu.
Selain Mbah Suneri, tentu masih banyak pedagang sayur lain yang berkeliling dengan gerobak, sepeda onthel, atau bahkan mobil bak terbuka. Tapi ia tak ingin menyerah pada keadaan. Tetap berjualan meski hanya berjalan kaki. Menjalankan profesi yang telah lama ia tekuni, bukan sekedar untuk menyambung hidup. Atau sebatas eksis di dunia pertukangsayuran.
Si Mbah ini punya seorang anak laki-laki dan sudah berkeluarga. Hidup mereka bahagia dan lebih dari status berkecukupan. Orang-orang yang belum mengenalnya sering bertanya heran, mengapa ia tak ikut tinggal dan hidup bersama putra semata wayangya. Ia justru bersusah-susah keliling jualan sayuran yang untungnya belum tentu mencukupkan. Kata ibu saya yang juga pelanggan setia beliau, ia lebih memilih menjalankan semua itu daripada tinggal bersama anaknya yang telah menyembah berhala dan patung-patung rupa manusia.
Mbah Neri bukanlah orang yang gila gengsi. Jika memang gengsi, ia tentu akan menolak pemberian satu dua piring nasi dan lauk dari para penderma. Tak pernah ia sekalipun menolak pemberian orang-orang yang begitu menyayanginya; tetangga-tetangga dekat. Ia justru menjadi perpanjangan tangan-tangan kebaikan. Setiap kali ia diberi sesuatu, kedua tangannya menyambut halus, dengan diiringi ikrar plus senyum senang: “Matur nuwun ya… Makanan ini saya terima. Pasti anak-anak di panti itu juga senang”. Begitu selalu, apa yang diterimanya ia bagi-bagikan dengan penghuni panti asuhan di dekat rumahnya.
Demikianlah, saya begitu mengagumi Mbah Neri. Seorang perempuan renta yang selalu memberikan banyak pelajaran, tanpa menggunakan buku-buku. Pembelajar dan pengajar nilai-nilai kehidupan, tanpa menyandang status guru. Sejak tujuh bulan yang lalu, ia tak bisa jualan lagi, lantaran kakinya nyaris lumpuh terkena gejala stroke. Menurut dokter klinik, kemungkinan besar ia tak akan bisa berjalan jauh. Artinya, ia tentu tak bisa jualan sayur keliling lagi.
Hanya orang-orang yang ikhlas dan berjiwa besar yang sanggup melewati ujian berat. Maha Suci Allah dengan segala kemurahan-Nya. Kemarin, ibu saya sms, katanya Mbah Suneri bisa berjalan lagi. Ia bahkan sudah berjualan lagi, meski kali ini jarak tempuh yang dilaluinya tak sejauh dulu lagi. Namun bukan karena itu yang membuat saya dan ibu saya, juga orang-orang kampung begitu takzim kepada beliau. Bukan pula karena catatan-catatan kedermawaannya; teguhnya pendirian beliau; atau pula filosofinya tentang bagaimana menjalani hidup sebenarnya. Tetapi karena sejak lahir hingga sekarang, Mbah Suneri menjalani hari-harinya dengan sepasang mata dalam keadaan buta.
Read More..
Selepas subuh Pasar Pucang kian ramai. Seperti biasa, Mbah Neri menyusuri lapak demi lapak untuk membeli sayuran hijau, beberapa kilo daging, minyak goreng, bumbu-bumbu masak, serta sejumlah kebutuhan dapur. Begitu semua terbeli, ia masukkan belanjaan ke dalam bakul dan digendongnya. Berpindah ke sisi lain dari pasar Pucang adalah bagian jajanan pasar. Ia lalu membeli kue pukis, tekwan, klepon, nagasari, putu mayang, dan serabi gula kelapa, yang semuanya masih dalam keadaan hangat. Ini terjadi karena Mbah Neri selalu menjadi pembeli pertama dari tiap-tiap lapak yang baru saja buka. Kali ini tampah yang dijadikan tempat untuk menaruh jajanan pasar. Sesaat kemudian, tampah itu disungginya di atas kepala.
Pukul enam pagi, ia memulai menjajakan sejumlah belanjaan yang ia beli di pasar Pucang. Kali ini jalan raya sudah mulai padat sesak oleh kendaraan berbagai ukuran. Mulai dari roda dua hingga yang beroda dua belas, dari plat hitam sampai plat merah. Melintasi jalan kampung yang ia lewati saat berangkat tadi, tujuan pertamanya adalah sepetak tanah sempit di sebelah SMP. Tanpa berkoar-koar atau menggunakan sirine khusus, ibu-ibu langganannya sudah tentu hafal bahwa pada pukul enam –kadang-kadang lebih– Mbah Neri sudah ‘mangkal’ di situ.
Sekitar satu jam kemudian, ia berpindah ke tempat yang lain. Kali ini berjalan menyusuri komplek perumahan, yang tembok pembatas antarrumah lebih tinggi dari atapnya, dan pagar halaman depan yang rapat, nyaris menutup semua pandangan dari orang-orang yang lewat di depannya. Kata orang, ini adalah simbol dari berkurangnya rasa percaya terhadap tetangga dekat, atau paranoid atas kemungkinan dibobolnya rumah mereka yang berisi pajangan berlabel luar negeri.
Setengah delapan, Mbah Neri sampai di samping rumah Bu Darmi dari RW XI. Ia meletakkan bakul dan tampahnya di atas tanah. Menggelar belanja bawaannya barang beberapa saat sambil rehat sejenak. Pembeli –sebagaimana setiap harinya- juga berkumpul memilih apa-apa yang hendak mereka beli. Sangat kontras. Pemandangannya terlalu kontras. Di depan rumah Bu Darmi adalah minimarket swalayan superkomplit, yang baru saja buka. Tapi Mbah Neri tak pernah kehilangan pelanggan. Mereka bilang, mereka tak mendapat cerita-cerita jaman silam kalau belanja di minimarket penyedia kebutuhan instant di depan itu. Menurut mereka juga, ternyata Mbah Neri adalah perempuan yang memerontak dan melarikan diri ketika tentara Nippon memaksanya menjadi Jugun Ianfu.
Dari satu tempat ke lokasi lain, satu rumah ke komplek lain. Begitu perempuan lanjut itu menjalankan aktivitasnya. Setiap hari. Menjajakan sayuran dan jajanan pasar. Ia seperti supplier sayur dan kebutuhan dapur untuk skala perorangan. Dengan caranya yang unik, ia telah berhasil memikat warga-warga kampung untuk selalu menunggu kedatangannya.
Termasuk anak-anak TK Perwanida, dengan keluguan mereka sering berebut kue cucur di tampah yang disungginya. Kue cucur ini adalah 'the most wanted' bagi bocah-bocah kecil lucu. Maklum, Mbah Neri adalah sang maestro yang secara turun-temurun mewarisi kemahiran membuat kue bundar pipih berwarna coklat berpuluh-puluh tahun lalu. Di sini, anak-anak diajari jujur berhitung. Karena Mbah Neri tak bisa membedakan uang seribu dengan sepuluh ribu; lima ribu dengan seratus ribu.
Selain Mbah Suneri, tentu masih banyak pedagang sayur lain yang berkeliling dengan gerobak, sepeda onthel, atau bahkan mobil bak terbuka. Tapi ia tak ingin menyerah pada keadaan. Tetap berjualan meski hanya berjalan kaki. Menjalankan profesi yang telah lama ia tekuni, bukan sekedar untuk menyambung hidup. Atau sebatas eksis di dunia pertukangsayuran.
Si Mbah ini punya seorang anak laki-laki dan sudah berkeluarga. Hidup mereka bahagia dan lebih dari status berkecukupan. Orang-orang yang belum mengenalnya sering bertanya heran, mengapa ia tak ikut tinggal dan hidup bersama putra semata wayangya. Ia justru bersusah-susah keliling jualan sayuran yang untungnya belum tentu mencukupkan. Kata ibu saya yang juga pelanggan setia beliau, ia lebih memilih menjalankan semua itu daripada tinggal bersama anaknya yang telah menyembah berhala dan patung-patung rupa manusia.
Mbah Neri bukanlah orang yang gila gengsi. Jika memang gengsi, ia tentu akan menolak pemberian satu dua piring nasi dan lauk dari para penderma. Tak pernah ia sekalipun menolak pemberian orang-orang yang begitu menyayanginya; tetangga-tetangga dekat. Ia justru menjadi perpanjangan tangan-tangan kebaikan. Setiap kali ia diberi sesuatu, kedua tangannya menyambut halus, dengan diiringi ikrar plus senyum senang: “Matur nuwun ya… Makanan ini saya terima. Pasti anak-anak di panti itu juga senang”. Begitu selalu, apa yang diterimanya ia bagi-bagikan dengan penghuni panti asuhan di dekat rumahnya.
Demikianlah, saya begitu mengagumi Mbah Neri. Seorang perempuan renta yang selalu memberikan banyak pelajaran, tanpa menggunakan buku-buku. Pembelajar dan pengajar nilai-nilai kehidupan, tanpa menyandang status guru. Sejak tujuh bulan yang lalu, ia tak bisa jualan lagi, lantaran kakinya nyaris lumpuh terkena gejala stroke. Menurut dokter klinik, kemungkinan besar ia tak akan bisa berjalan jauh. Artinya, ia tentu tak bisa jualan sayur keliling lagi.
Hanya orang-orang yang ikhlas dan berjiwa besar yang sanggup melewati ujian berat. Maha Suci Allah dengan segala kemurahan-Nya. Kemarin, ibu saya sms, katanya Mbah Suneri bisa berjalan lagi. Ia bahkan sudah berjualan lagi, meski kali ini jarak tempuh yang dilaluinya tak sejauh dulu lagi. Namun bukan karena itu yang membuat saya dan ibu saya, juga orang-orang kampung begitu takzim kepada beliau. Bukan pula karena catatan-catatan kedermawaannya; teguhnya pendirian beliau; atau pula filosofinya tentang bagaimana menjalani hidup sebenarnya. Tetapi karena sejak lahir hingga sekarang, Mbah Suneri menjalani hari-harinya dengan sepasang mata dalam keadaan buta.