March 29, 2009

Rooftop


“Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga. Kering!!” Itu pesan singkat yang aku baca begitu masuk kamar. Nama pengirimnya ada di bagian ujung bawah. Seorang kawan dari kota sebelah. Saat ini adalah musim hujan. Berkendara dengan roda dua setiap kali pulang dari kampus, hampir selalu kehujanan. Terlebih lagi ia tinggal di kaki gunung yang menjadi daerah bayangan hujan. Artinya, curah hujan di sana lebih tinggi daripada daerah lainnya. Jikalau di sini langit baru nampak mendung, maka di rumahnya sana langit sudah menumpahkan beban air yang menggantung karena sampai pada titik jenuhnya. One step ahead. Begitu ia merepresentasikan tempat tinggalnya

Maka pulang dalam keadaan kering –menurutnya– adalah sebuah prestasi yang keren. Sering ia menggambarkan bahwa perjalanannya ketika langit mendung, seolah-olah ia akan berangkat perang. Warna awan yang pekat hitamnya, melukiskan medan pertempuran yang luluh lantak karena peluru meriam yang berdentuman menghujam tanah. Tapi perumpamaan yang ini masih lumayan normal, daripada hayalan tinkgat tingginya yang lain. Untuk mengiaskan kondisi yang sama, ia sering merasa seperti masuk ke pusat pusaran badai tornado; angin topan; –atau apalah ia bilang— dalam film Twister. Ahh…berlebihan!. Kadang fantasinya jauh di luar batas. Penyakit gila #29!!!


Beruntung tempat tinggalku hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari kampus. Tidak perlu berakting menjadi prajurit perang atau bintang film seperti itu untuk lari dari hujan. Tapi memang benar, ketika aku lihat langit, keadaannya benar-benar gelap. Awan begitu pekat. Lebih mirip polutan asap yang keluar dari knalpot bis rongsok reyot. Sesekali suara gemuruh keras menjadi back sound atas kilat yang menari-nari. Melompat-lompat dari awan yang satu ke gumpalan serupa yang berdekatan. Muatan elektron positif dan negatif benar-benar menampilkan pertunjukan yang spektakuler. Layaknya pentas budaya; langit menjadi latar, awan adalah panggung, kilat sebagai pemain, geluduk merupakan irama, Ia adalah sutradara, dan manusia yang kecil berperan sebagai penonton pasif. Indah dan menakjubkan.

Tanpa menunggu aba-aba, di tengah pertunjukan itu, bumi hujan. Sangat deras. Sungguh, Allah menampakkan kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Lisan-lisan manusia angkuh, terbungkam oleh kerasnya suara air yang tumpah dari atap bumi. Menghentikan sesaat perjalanan pengendara yang kadang ugal-ugalan dan mau menang sendiri. Atau orang-orang pembabat hutan yang harus berlindung dari kemungkinan becana longsor atau banjir. Subhanallah…

Sudah melewati dua waktu shalat di petang hari. Langit tidak lagi menangis. Pertunjukan pentas budaya sudah selesai. Sang Sutradara telah mengumpulkan dan menyatukan frame-frame kejadian. Sisanya, adalah reaksi yang beragam dari para penontonnya: manusia. Ada yang mengumpat karena tubuh mereka basah kuyup, mobil mereka yang menjadi kotor, atau pengendara sepeda motor yang harus memutar haluan lebih jauh karena ruas-ruas jalan tergenang rob. Di ujung lain, ada juga yang bersyukur karena hujan adalah berkah. Tak menyebabkan becana ataupun musibah. Ujar mereka, “…yang menciptakan hujan adalah yang menciptakan kami pula. Hujan adalah berkah.”

Aku tak bisa tidur. Insomnia? Mungkin. Udara di dalam kamar terasa agak pengap. Kucoba keluar untuk menghirup oksigen yang lebih segar. Dan aku mendapatkannya. Kutatap langit, kali ini ia sangat indah. Tampilannya semakin cantik dengan ttik-titik benda angkasa bercahaya. Jumlahnya sangat banyak. Sebagian kecil ada yang membentuk gugusan tersendiri. Pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Maka kupanjat meja di bawah tritisan, hingga sampai di atap.

Suasananya sangat tenang. Hening. Jauh dari hingar-bingar suara yang kadang menyakitkan . Di atas genting yang tak lagi basah, kurebahkan tubuhku., terlentang menghadap bintang-bintang dingin. Mencoba bertanya pada diri, apa yang tidak bisa membuatku tidur. Pita rekaman kejadian dari pagi hingga detik ini seperti terurai. Memori kemudian menunjuk pada bagian awal rol pita itu. Mirip jarum optik yang membaca compact disc secara sekuensial…

Pagi tadi aku bangun terlalu siang. Terjaga ketika hari sudah tak lagi gelap. Matahari menertawakanku, karena ia berhasil lebih dulu memangunkan manusia dan penghuni dunia. Aku malu. Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya Berteduhlah di Taman Hati menulis, “Mulailah berburu pahala sejak pagi hari. Bacalah Al-Qur’an dan berdzikirlah. Bacalah doa dan bersyukurlah. Karena di pagi hari adalah saat bertolak burung-burung dari sarangnya. Dan jangan lupa, sabda Rasulullah SAW, ‘Keberkahan Allah untuk umatku ada pada pagi harinya’”.

Karena tidak ingin terlambat sampai di kampus, kupinjam sepeda milik adikku yang tidak dipakai. Diam-diam, tanpa meminta ijin dulu. Begitu sore hari aku akan pulang, pedal sisi kanan pecah, meski tak terlalu parah. Dengan alasan takut dimarahi, sampai saat ini aku belum mengaku dan meminta maaf tentang kondisi sepedanya. Kelihatan sekali, bahwa Rayya bukan pemberani.

 Ujian BK yang masih menyisakan beberapa bab, memaksaku untuk secepat mungkin menyelesaikannya. Bagiku, soal-soal ujian kali ini lumayan sulit. Pertanyaan yang ditulis dalam language, plus pertanyaan jebakan, memaksa otak berpikir keras dan fokus. Buruknya, aku jadi acuh dengan seruan Allah. Tak kuhiraukan panggilan adzan Dzuhur dan Ashar tepat waktu. Toh agak telat sedikit juga masih cukup waktunya. Begitu pikirku. Setan begitu kuat menggenggam niat. Membenamkan tekad untuk berdialog langsung dengan-Nya tepat waktu. Untuk bercerita, mengeluh, dan mengaduh hanya kepada Dzat Yang Maha Mencintai.

Rekaman peristiwa demi peristiwa terus berjalan berurutan di kepalaku. A full playback. Hingga sore itu, aku seperti bisa merasakan kesedihan saudaraku yang tidak bisa pulang. Mungkin beginilah kehendak Allah, manusia itu berbatas. Allah Maha Berkehendak, dan manusia tak punya kuasa atas segala apapun.

Astaghfirullahal’adzim…

Bintang di langit jauh masih berkedip-kedip. Satu menyapa yang lain, saling menggoda, memamerkan kecantikan malam. Sementara di antara mereka, ada Sang Ratu Malam bak bola emas di langit hitam. Jam dinding merk Junghans terus berdenting. Suaranya sayup-sayup terdengar di atas atap. Waktu, memang tak pernah berhenti. Sesaat, aku merasakan energi pancaran Ilahi yang menenangkan hati, menenteramkan batin. Dengan skala apapun, kekuatan Allah tak akan pernah terbilang.

Ya Allah, Maafkanlah atas kelalaianku. Hari ini, kau bisa saja menghukumku atas segala kesalahan. Tuhanku, Kau bisa saja, tidak membangunkan aku dari tidur pagi ini. Hingga tak pernah bisa kutatap matahari lagi.

Pun begitu, Ya Allah. Ampunkaknlah hamba yang pandai berbohong. Boleh saja –dengan ketidakjujuranku–, Engkau berbuat hingga aku tak dapat mengayuh sepeda lagi. Juga dengan keluhan karena hujan yang membuatku tak bisa pergi ke luar rumah. Allah pun boleh menjadikan hujan itu tak henti-henti menerjang bumi. Menjadikannya air bah yang menghanyutkan.

Atau, telingaku bisa saja setiap saat Engkau jadikan tuli. Tak mampu menangkap frekuensi normal suara yang bisa didengar manusia. Karena tak kuhiraukan panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat atas perintah-Mu. Tidak seperti Rasulullah dan sahabatnya, yang ketika lelah, ia meminta Bilal untuk mengistirahatkan mereka dengan Shalat.

Atau, segalanya bisa terjadi atas kehendak-Mu. Apa-apa yang tidak kami inginkan, Engkau timpakan secara tiba-tiba. Boleh jadi, tapi Engaku tidak melakukannya. Subhanallah, tak pernah Engkau menguji kami melebihi atas kemampuan yang kami miliki. Seburuk apapun perangai kami, tak pernah Engkau celakakan kami. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni kesalahan-kesalahan kami. Tak Kau tumpahkan kemarahan-Mu kepada kami di dunia ataupun akhirat.

 Allah Engkau Dekat
Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau Biarkan
Hamba-Mu Menangis
Karena Kemurahan-Mu
Karena Kasih Sayang-Mu
                     (Opick, Cahaya Hati)

Pelan-pelan, pelupuk mataku menutup. Rindu mendekap rindu, senyum berpeluk-peluk. Energi yang kurasakan semakin hangat. Seolah-olah menyusup melalui celah pori kulit pembungkus tulang; seolah-olah Allah menyelimutiku dengan kasih sayang-Nya yang tak berbilang.

Kini, di atas atap ini, aku kembali menemukan waktu pada ruas-ruasnya. Gravitasi seperti tak berlaku. Ia berada pada titik nol. Kurengkuh pelukan-Nya erat-erat. Tak ingin kulepaskan. Inginku berlari sekencang-kencang untuk menggapai uluran tangan-Nya. Ya Allah hanya Engkaulah tempat kami bergantung… Jangan sekalipun Engkau berpaling dari kami meski kami terkadang berpaling dari-Mu. Astaghfirullahal’adzim.

Perlahan, dari sudut kedua mataku setitik demi setitik air menetes hangat...
Read More..

Tukeran Link

Selain sebagai media untuk menulis, blog juga bisa digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi melalui blog ini terbilang unik. Meski tidak selalu kenal dengan sesama blogger, namun seolah-olah memiliki kedekatan personal yang tak berjarak lagi *halah*. Cara blogger berkomentar terhadap suatu posting, lebih menarik daripada sekedar berkirim pesan singkat melalui handphone. Pokmen, Tukeran link lebih seru daripada tukeran nomor hape. Tapi itu semua menurut saya. Betul tidak ya? Hehe... *senyum tampan*

Untuk teman-teman yang berkomentar di postingan saya, semoga tidak keberatan tukeran link ya. Link teman-teman saya tempel di sini.

Belajar memperbaiki diri,
memberi yang terbaik meski tak pernah sempurna.
Read More..

A Man Named Rayya

Assalamu’alaikum.

Sesaat saya bingung, bagaimana cara yang tepat untuk bisa memperkenalkan diri. Alih-alih biar tidak bingung terus, sambil berpikir, sambil bertindak juga.

Salam hangat,
saya Rayya Hidayat, senang namanya ditulis rayyahidayat, dan dipanggil Rayya (dobel ‘y’ ya). Asli Temanggung dan dibesarkan di Banjarnegara. Di kota gilar-gilar ini pula memulai pendidikan formal di TK RA Perwanida II, bersambung ke SD Negeri 2 Gemuruh dengan teman sekelas paling banyak 10 anak. Melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Banjarnegara dan SMA Negeri 1 Banjarnegara, dan teman yang ada sudah jauh lebih banyak. Vakum dua tahun untuk mempersiapkan perbekalan, alhamdulillah tahun 2005 bisa kuliah di Semarang. Sekarang sedang mengerjakan tugas akhir, nyambi jadi pelayan mahasiswa di tata usaha fakultas.

Saya senang membaca buku-buku self help dan menonton film. Akhir-akhir ini rajin tanya sana-sini agar bisa bikin blog. Mulai dari mendaftar, konfigurasi, ubah-ubah template (ini paling susah), sampai bagaimana caranya menerbitkan postingan –yang ternyata dapat dilakukan dengan hanya menekan tombol ‘terbitkan entri’. Hehe…

rayyahidayat [dot] blogspot [dot] com lahir dengan akta kelahiran tertanggal 19 Maret 2009, pukul 08.11 waktu Indonesiarayya. Alasannya: ingin belajar tentang banyak ilmu yang bertebaran di jagadrayya. Melalui blog, saya bisa menemukan banyak inspirasi dan saling berbagi mimpi untuk diwujudkan.

Kepada para pengunjung, saya ucapkan selamat datang. Dalam blog ini, konten yang disampaikan hanyalah postingan kecil yang biasa dan tidak ada tema khusus. Seperti postingan pertama yang saya tulis karena sering bertanya pada rayya, tapi tak ada jawabannya. Saya hanya menukil dari yang tergeletak, menguntai dari yang tercerai. Semoga, rayya yang belum tahu apa-apa, kelak memiliki identitas (meminjam judul buku Dave Pelzer): A Man Named Rayya.

Belajar memperbaiki diri,
memberi yang terbaik meski tak pernah sempurna.

Wassalamu’alaikum.
Read More..

March 23, 2009

Catatan: Untuk Rayya

“Segala sesuatu itu mempunyai penyerbukan. Kesedihan itu serbuk yang melahirkan amal shaleh. Tidak ada seseorang yang bersabar atas amal shaleh, kecuali dengan kesedihan” (Malik bin Dinar)

Penat yang hinggap selama beberapa minggu terakhir itu, agaknya sudah sedikit berkurang. Setelah sekian lama, akhirnya pulang juga. Aroma udara kampung halaman, terasa begitu tenang.

Dan hari Senin ini, waktunya kembali berjibaku dengan peluang dan kegagalan merubah nasib. Dalam perjalanan ke Semarang, aku teringat akan cerita kesedihan seorang kawan dekat. Sahabat yang sudah lama aku kenal. Dari tulisan yang ia sampaikan, nampak sekali hari-harinya tidak berwarna, selain gradasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Dan semua itu, ia rangkai dalam sebuah cerita hati dalam sebuah email yang pernah ia kirimkan padaku.


“Rayya, Dari waktu yang telah aku lalui, ada satu episode dalam hidupku yang gelap. Sungguh menyedihkan. Ketika sebuah ujian berat, gagal aku hadapi. Gagal terlampaui. Sebuah ujian yang nyata-nyata telah menghempas aku ke dasar pusaran penyesalan, kekecewaan, dan kesedihan.

Lebih parah lagi, kesedihan itu menyisakan dua ketakutan yang sangat besar. Pertama, aku begitu takut menatap masa lalu. Masa di mana mozaik kehidupan yang indah terangkai. Saat-saat di mana setiap jengkal langkahnya adalah kesenangan. Saat-saat, ke mana pandangan terhampar yang terlihat hanya kecantikan. Berwarna-warni. Masa-masa ketika segala yang diperbuat adalah prestasi gemilang. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sudah lewat dan tidak mungkin bisa terulang lagi.

Lalu, yang kedua adalah ketakutan menatap masa depan. Terperosok hingga ke dasar kegelapan memang menyeramkan. Miris dan menakutkan. Perlu usaha keras untuk bisa berdiri tegak. Jangankan melangkah, untuk bertahan saja begitu berat. Terkadang –bahkan sering– hanya ada air mata dan rintihan hati memohon Ia berbelas kasihan memberi kekuatan-Nya padaku. Menyulut kembali api semangat yang telah padam. Untuk mengejar cita-cita yang telah terurai. Bercita-cita? Bermimpi saja tidak berani. Payah. Parah!

Rasa takut, menyebabkan jiwa terlalu berhati-hati dalam menilai dan bertindak. Dalam arti tidak berani membuat perubahan, mengukir prestasi puncak. Memilih menjadi safety player yang tidak berani mengambil resiko. Juga menyia-nyiakan kesempatan. Afraid of taking chances.

Kawan,
Aku yang dulu seorang pengejar impian, tiba-tiba menjadi orang yang sangat lemah. Tak bisa lagi bangkit dari sebuah kegagalan. Tiap kali berusaha bangkit, ada satu sisi dalam diriku yang mengatakan ‘you will fail’. Tapi dari mana suara itu berasal, aku tak tahu. Entahlah.

Lalu seorang kawan yang lain mencoba menyadarkan diriku. Katanya, “Mungkin kau kurang istiqamah. Kurang bersyukur dengan apa yang kamu jalani. Tengoklah saudara-saudara kita yang lain. Untuk bisa bangkit, kita memang perlu mendongak ke atas. Tapi jangan terlalu lama karena mata akan silau, dan leher akan lelah. Lebih seringlah engkau menunduk. Lihatlah ke bawah. Dan kau akan melihat, betapa banyak saudaramu yang lebih kurang beruntung daripada engkau”.

Sadarlah kawan!
Keep on fighting. You were a survivor. And that is what you’ll gonna be. Kau boleh saja bersedih atas apa yang menimpamu beberapa tahun yang lalu itu. Mengingat kau termasuk orang yang beruntung. Kau tak pernah menorehkan nilai merah di rapormu. Engkau jugalah yang beberapa kali mengantarkan teman-temanmu bisa mempertahankan piala bergilir hingga akhirnya menjadi piala tetap.

Sejenak, Kawan…
Diamlah sejenak. Di sini. Di tempat ini. Berdzikirlah. Memohon segala ampunan-Nya. Agar Ia mengangkat derajatmu kembali. Ingatlah kawan. Betapa banyak kemudahan yang Allah berikan kepadamu dalam menghadapi berbagai tantangan yang engkau lewati. Adakah di sana, kegagalan lebih banyak dari keberhasilan? Adakah di sana, kesedihan lebih banyak dari kesenangan? Adakah di sana, kawan, rasa marah lebih banyak dari rasa cinta karena-Nya. Tidak! Sungguh tidak, Karena Allah menyayangimu.

Niatkan segala yang engkau lakukan dengan ibadah. Boleh saja, engkau sangat kecewa, ketika kau tidak lolos dalam seleksi student exchange dengan pemerintah negara bagian Queensland, Australia.Gara-gara salinan rapormu lupa disiapkan oleh pihak sekolah. Atau, ketika kamu tidak bisa masuk universitas favorit seperti teman-temanmu yang lain. Sungguh, Kawan. Semua yang terjadi kepadamu ini bukanlah sebuah kebetulan. Semua rangkaian kejadian dan peristiwa di dunia ini, sudah Allah atur.

Lihatlah sisi baik dari setiap musibah. Pandanglah sebuah kegagalan dari perspektif yang lain. Temukan hikmah di balik semua kesedihan. Simaklah perkataan Malik bin Dinar, ‘Segala sesuatu itu mempunyai penyerbukan. Kesedihan itu serbuk yang melahirkan amal shaleh. Tidak ada seseorang yang bersabar atas amal shaleh, kecuali dengan kesedihan.

Seorang sahabat Rasul biasa melakukan istighfar seribu kali, ketika hatinya terasa sempit. Hingga akhirnya lapang. Rasulullah SAW sendiri selalu membaca istighfar, paling tidak seratus kali setiap hari. Bagaimana dengan aku, engkau; kita?

Bangkit dari kegagalan memang sangat berat. Tetaplah berusaha. Bersemangatlah. Karena dengan itu, kau akan mampu melampaui penghalang di jalan yang engkau temui. Tapi, kesinambungan juga tak kalah penting. Bagaimanapun juga, Allah menyukai tindakan hamba-Nya yang kecil namun sering, daripada tindakan besar namun hanya sekali dilaksanakan.

Bersyukurlah, Kawan…
Kau kini bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanmu. Menurutku, kau sudah berhasil bangkit dari kegelapan. Nilaimu semester ini sempurna, jayyid jidan, IP-mu 4,00. Apa itu masih kurang? Jika iya, lantas ke mana rasa syukurmu kepada Dzat Yang Maha Penyayang? Dia Yang Maha Suci dan Maha Indah. Dialah yang telah meyibakkan tirai kegelapan sumber-sumber ilmu hingga kau paham akan sesuatu.

Bangkitlah, Kawan!
Allah SWT berfirman. ‘Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.’ (QS. Al-Anfal: 29).”

 Ya Allah, izinkan aku mengucap syukur kepada-Mu. Atas apa yang engkau karuniakan kepada kami. Engkau juga yang telah mengenalkan aku dengan kawan-kawan seiman, yang selalu menyertaiku dalam berjuang.

***

Oh…cerita hati kawanku yang menyedihkan. Tapi percayalah kawan. Boleh jadi ujian itu untuk menyegerakan hukuman atas dosa-dosamu di dunia, hingga engkau tak lagi menanggung dosa di hari nanti. Bergembiralah kawan! Dengan apa yang engkau hadapi setiap hari. Bersyukur. Sekecil apapun nikmat dan ujian yang kau dapati.

Karena hidup tak mengenal siaran tunda. Apapun masa lalu kita, tatap tegak masa depan! Kita pernah berjanji, untuk mengejar mimpi bersama. Dengan tetap melangkah di jalan ketaatan kepada-Nya.

Kau pernah berkata, “Jika Ikal dan Arai punya Edensor, Maka kau dan aku punya DREAMLAND!”. Kita pasti akan menemukannya. Entah di manapun itu. Bahkan, jika itu berarti surga. Karena kita akan bersahabat, hingga ke surga...
Read More..

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP