March 21, 2009

Kekuatan itu Ada di Pagi Hari

“Jika seorang hamba di pagi dan sore hari, tidak mempunyai keinginan apapun kecuali Allah SWT semata. Maka Allah akan memikul seluruh kebutuhannya. Allah akan memberikan semua yang menjadi keinginannya. Mengosongkan hatinya untuk cinta pada-Nya. Menjadikan lisannya berdzikir kepada-Nya. Menjadikan semua anggota tubuhnya memenuhi ketaatan pada-Nya” (Ibnul Qayyim)

Pagi yang menawan. Dingin, tapi menyejukkan. Semburat gradasi warna jingga membuat pola lukisan menakjubkan di ujung langit. Menggantikan warna kelam yang menyembunyikan keceriaan anak kecil. Dua partikel hidrogen merangkul satu partikel utama yang dihirup manusia. Bersenyawa, menjadi tetes embun yang melentikkan ujung-ujung daun bunga Bougainville.

Pagi itu begitu dingin. Nyaris menggumpalkan berliter-liter minyak kelapa yang disimpan nenek di dalam cendawan kaca. Tapi, tak sekalipun hawa dingin itu membekukan langkah orang-orang untuk merubah nasib. Anak belia yang bersegera berangkat ke sekolah. Lelaki-lelaki yang tak beralas kaki, berjalan menuju sawah dan ladang memenuhi panggilan jiwa. Para guru, dengan ilmu yang mereka miliki, siap memahat pikiran dan mengukir masa depan anak didiknya.

Yang paling indah adalah kaum hawanya. Mereka ini, adalah perempuan sejati: ibu-ibu rumah tangga. Sebelum semuanya bangun, sebelum semuanya tersadar, mereka sudah berada di dapur. Menyalakan tungku kayu yang ringkih. Menjerang air, menanak beras menjadi nasi. Dan semuanya itu, dijalankan sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dengan ikhlas. Tak ada imbalan apapun yang diharapkan.

Kata mereka, “Inilah bentuk perjuangan kami, Nak. Sebuah pengabdian kepada-Nya. Kami ini bukanlah wanita karir, atau perempuan-perempuan kota yang pandai bersolek. Gincu dan bedak, tidak akan membuat kami cantik. Parfum bermerk, juga tak akan membuat kami menjadi wangi. Tapi jelaga, Nak. Yang membuat kami merasa cantik. Tanpa jelaga di wajah dan tangan, kami bukanlah pengabdi setia. Bukan parfum wangi, tapi asap kayu bakar, yang menjadikan kami menjadi harum. Seolah-olah harum.”

Haha…celoteh ibu-ibu itu, menyimpulkan senyum di ujung bibirku. Lalu mereka melanjutkan, “Suami, anak, cucu, adalah ladang-ladang amal kami. Mereka adalah anugerah Allah Yang Maha Indah. Dan hanya Allah, Nak. Yang telah membuat kami cantik dengan berjelaga. Dan hanya Yang Maha Suci-lah, yang membuat kami harum dengan asap kayu bakar. Maka, tak sekalipun kami akan mendustakan-Nya. Tak sekalipun, kami ingkar kepada-Nya. Dan dengan demikian itulah, wujud syukur dan penghambaan kami kepada-Nya. Semua itu, berawal di pagi hari.”
***

Dan sekarang, aku berada di sebuah kota postmodern, megapolitan. Di mana setiap jengkal tanahnya adalah harta. Di mana setiap denyut jantungnya berarti nyawa. Di sinilah, —kata orang— peradaban maju ditemukan. Segala berita yang baru saja terjadi bisa kau temukan di sini.

Bagiku, pernyataan mereka tak selamanya benar. Tentang peradaban yang maju, aku anggukkan kepala. Juga tentang berita up to date, aku mengamininya. Tapi, semuanya itu seumpama pedang bersisi ganda. Jika tak mahir memainkannya, kita akan terluka. Dan sayangnya, aku termasuk yang tidak pandai mengayunkan pedang. Novice, amateur.

“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Betapa ucapan ibu-ibu itu –termasuk ibuku–, mengetuk dasar hatiku. Bagaimana tidak?

Kawan,
Pernahkan kita menghitung, berapa banyak kesempatan di waktu pagi yang kita lewatkan begitu saja. Aku sendiri, entahlah. Tak bisa aku hitung lagi. Ini tentang menyambut pagi. Tentang bangun pagi, untuk meraih kekuatan fisik dan batin. Kekuatan yang kita perlukan agar di waktu siang hinga malam, kita tetap ‘hidup’. Dan menyikapi shalat subuh, aku bersungguh-sungguh soal ini. Bukan maksud menggurui, aku juga bukan orang yang senantiasa bangun pagi. Bangun sebelum adzan subuh.

Seringkali,
Kelelahan di hari kemarin, benar-benar menidurkanku. Lelap, jatuh di bawah ketidaksadaran. Meski pendengaran sudah menangkap lantunan ajakan shalat, mata ini lebih lekat dengan buaian setan yang menyesatkan. Menyisakan kemalasan yang membutakan. Yang ada, aku melanjutkan tidurku. Hingga akhirnya terbangun dengan penyesalan yang dalam.

Kawan,
Hatiku kemudian berteriak, betapa aku telah menyia-nyiakan saat-saat terindah di awal hari. Subuh, adalah sebuah momentum. Tempat perlindungan manusia kepada Allah, dari bujuk rayu iblis dunia. Peristiwa, di mana sebuah pancaran kekuatan merubah nasib dimulai hari itu. Kemudian, sepanjang hari tak ada perasaan lagi selain menyesal. Bersalah karena telah melupakan hak-hak Allah atas makhluk-Nya. Dan memang benar, ketika pagi itu aku tidak bisa berjamaah subuh dengan orang-orang shalih, rasanya hati ini sempit. Tidak lapang. Jika senang, maka seolah-olah hanya semu. Bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Lagi-lagi, aku kecewa dengan diriku sendiri.

“Shalat terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan subuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat tersebut, tentunya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.” (HR Ahmad)

Aku jadi teringat dengan tulisan Doktor Imad Ali Abdus Sami’ Husain dalam bukunya --Keajaiban Sholat Subuh--, “Sungguh, masjid-masjid di seluruh penjuru dunia ini merintih pedih dan mengeluh kepada Allah karena dijauhi oleh mayoritas kaum muslimin ketika shalat subuh dilaksanakan. Kalau bukan karena ketetntuan Allah bahwa benda-benda mati itu tidak bisa bicara, tentu manusia dapat mendengar suara rintihan dan gemuruh tangis masjid-masijd itu mengadu kepada Rabbnya Yang Agung.”

Kawan,
“Kekuatan itu ada di pagi hari.”
Bukan hanya tentang shalat subuh tepat waktu. Lebih jauh lagi. Dalam konteks lain, persiapan yang lebih awal mampu menyingkirkan kegagalan dan mendekatkan kita kepada puncak kejayaan. Semua pasti pernah mengenal pepatah “Gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan.” Mungkin itu juga yang menjadi alasan, mengapa Allah menjadikan pagi hari sebagai awal manusia dan makhluk-Nya untuk berkarya. Bukan siang, atau ketika hari sudah gelap.

Maka, tak ada alasan lain untuk menunda kewajiban. Manfaatkan momentum sekecil apapun di pagi hari, untuk mempersiapkan perbekalan. Karena semuanya ini, tidaklah abadi.

***

Masa kecilku, terukir di dalam cerita di awal tulisan ini. Sebuah kehidupan kecil di Lempuyang, sebuah desa terpencil di Temanggung. Mengenangnya, menghadirkan kedamaian tersendiri di tengah hingar bingar bising kepalsuan dunia. Namun di sisi lain, selalu muncul pertanyaan, “Mungkinkan aku bisa menjadi seperti mereka? Yang mampu meraih kekuatan di pagi hari. Sehingga bersemangat dalam berkarya. Tulus dan ikhlas mengabdi. Hanya untuk-Nya. Tuhanku Yang Maha Penyayang.”

Astaghfirullahal’adziim…

Kawan,
Simpulkanlah sendiri. Dari sebuah wasiat langsung pelaku bom syahid termuda di Palestina berikut ini. Namanya Muhammad Fathy Farahat. Umurnya baru beranjak 17 tahun. Wasiat ini, ditulis Farahat pada hari Jum’at, 1 Maret 2002, satu hari sebelum ia melakukan serangan yang mengantarkannya pada kematian yang ia dambakan: shalat subuh berjamaah.

“Saudaraku umat Islam, ketahuilah, sesungguhnya shalat subuh berjamaah adalah rahim yang melahirkan para pejuang dan pahlawan. Ia adalah tempat peraduan orang-orang ikhlash. Melaksanakan shalat subuh berjamaah, adalah ciri-ciri para mujahidin, indikasi kemenangan dan sifat-sifat orang shaleh. Sungguh amat banyak kebaikan yang tak ternilai di waktu itu.”

Everyday is a brand new day. Where your dreams start. When your hope calls to be fulfilled.

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP